Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik

Istilah Politisi Merakyat dan Ragam Kebohongan

17 November 2019   16:24 Diperbarui: 17 November 2019   17:37 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersih, merakyat kerja nyata

PUBLIK direcoki dengan bangunan citra politik yang sebetulnya menyesatkan. Tidak mendidik publik. Lihat saja seperti praktek membangun image bahwa seolah-olah politisi yang merakyat ialah mereka yang makan di emperan. Berpakaian seperti rakyat termarginal, masuk selokan (drainase). Foto bersama masyarakat miskin, bahkan foto sendirian di bekas kebaran lahan, dan remeh-temeh yang tidak substansi lainnya. 

Lalu, hal itu dikelola menjadi isu strategis. Dipublikasi melalui media massa. Nalar sehat publik diinterupsi, bahkan dipatahkan. Menjadi tereduksi dengan tontonan rekayasa dan pembohongan. Membangun citra sebagai politisi merakyat. Ironisnya, yang dipertontonkan itu tidak permanen. Tidak bersenyawa dengan prodak karya yang dihasilkan. Saat memimpin rakyat, malah rakus dan menjadi elitis dalam kebijakannya.

Inilah sesat pikir yang serius. Politik bukan ruang ingkar janji. Yang paling utama dan penting bagi politisi merakyat yaitu ia yang peduli pada kepentingan rakyat, ketika berkuasa mampu mengambil kebijakan yang pro rakyat. Tidak menaikkan harga BPJS. Tidak menyulitkan anak orang miskin masuk berstudi di Perguruan Tinggi.

Politisi yang siap menghibahkan waktu dan pengetahuannya untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat. Berdiri diatas kepentingan semua komponen masyarakat, kemudian berada didepan mewujudkan keluhan masyarakat.

Seolah menjadi tontonan luar biasa, jika melihat politisi masuk selokan dan tempat pembuangan sampah. Turun temui rakyat dengan kaos oblong, bahkan pakai sandal jemput. Politisi berpenampilan dengan pakaian apa adanya dan murah, padahal itu bukan yang dikehendaki rakyat. Yang utama ialah visi dan komitmen politisi itu untuk mensejahterakan rakyat.

Untuk apa politisi berpenampilan merakyat, sederhana, masuk selokan, peluk anak-anak yang dibawah garis kemiskinan kalau itu semua hanya kepentingan pencitraan. Lalu setelahnya, ia menjadi kawan kapitalis dan cukong atau anak buahnya konglomerat yang hanya menjarah hak-hak rakyat. Barang kebutuhan bahan pokok mahal, lapangan pekerjaan tidak dibuka sebanyak-banyaknya.

Kalau dibuka lahan pekerjaan, malah yang mengisinya kebanyakan WNA. Contoh saja dibeberapa perusahaan pertambangan. Rakyat butuh politisi merakyat dengan konsep kerja dan mengkontribusi diri untuk rakyat. Tergambar melalui keberpihakan. Memberikan kebijakan yang pro terhadap rakyat. Pendidikan gratis, berkualitas.

Begitu pula kesehatan gratis dan berkualitas. Jangan kemudian mengaku merakyat, tapi saat memimpin rakyat malah balik menindas rakyat. Ya, cara menindasnya berupa menaikkan biaya kesehatan. Pendidikan dipenuhi dengan pungutan. Bagi anak-anak rakyat miskin akhirnya tak mampu masuk Perguruan Tinggi. Karena komersialisasi pendidikan.

Karena untuk masuk Perguruan Tinggi, bukan main mahal biaya masuknya. Belum lagi Uang Kuliah Tunggal (UKT), Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), Biaya Kuliah Tinggal (BKT), atau apalah namanya itu. Semuanya menyengsarakan rakyat miskin, sebuah potret pendidikan yang kapitalis. Pemerintah seolah tutup mata dengan itu semua.

Berhenti menggiring rakyat dengan cara-cara licik. Mengaku dan berlagak merakyat hanya dengan berpenampilan sederhana, lalu mengkapitalisasi hal itu. Kemudian, diujung dari semua promosi dan kampanye tersebut, rakyat dirugikan atau dibodohi. Rakyat pun harus belajar dari itu semua.

Jangan ikut mengagung-agungkan politisi yang karena masuk melihat drainase, minum kopi bersama rakyat lantas dibesar-besarkan sebagai pemimpin merakyat. Lebih besar dan prioritas dari itu semua adalah keberpihakan politisi pada rakyat. Bukan penampilan yang kadang menipu. Sadarlah rakyat sebagai pemilih.

Jangan mau masuk terjerumus dilubang yang sama secara berulang-ulang. Kita butuh kehadiran politisi merakyat yang paradigma perjuangannya mermuara kepada kepentingan rakyat. Bukan memilih politisi yang penuh polesan pencitraan. Jangan mudah terjebak menjadi pemilih. Kadang dibesar-besarkan media, rakyat kemudian ikut-ikutan pusaran pencitraan tersebut.

Kalau benar politisi itu merakyat, bisa diuji dia. Dan akan tergambar dalam kebijakannya disaat politisi yang katanya merakyat itu menjadi pemimpin. Mari kita jujur melihat Presiden Jokowi, apakah dia merakyat?. Umumnya, pemimpin yang merakyat itu tidak mau menyusahkan rakyat.

Pemimpin merakyat juga tidak mau menaikkan harga BPJS. Biaya pengutan pajak tidak mau dinaikkannya. Pemimpin merakyat akan memurahkan Bahan Bakar Minyak (BBM). Ketika rakyat menyerit, ia otomatis hadir bersama rakyat. Apakah pemimpin kita seperti itu?, silahkan nilai dan jawab dengan jujur.

Segeralah siuman, mengevaluasi pilihan-pilihan politik kita selama ini. Benarkan politisi yang pernah kita pilih, ataukah kita telah salah memilih?. Silahkan dievaluasi. Jangan terulang lagi kecerobohan kita berdemokrasi. Jangan mau dibohongi berulang-ulang dengan istilah atau isu-isu politisi merakyat.

Meski tidak semua, kebanyakan politisi itu bertopeng. Berperan ganda, kadang menjadi Malaikat dan kadang Iblis. Politisi yang lihai yaitu mereka yang pandai mejual harapan. Membangun citra dengan brand, walaupun yang aslinya tidak begitu. Jangan percaya dengan atribut, karena itu cenderung menipu.

Kita sentil misalkan slogan 'bersih merakyat kerja nyata', dalam politik inilah merek. Rasional dalam mengusung tema atau narasi, tapi kadang kebablasan dalam mewujudkannya. Kalau rakyat tidak cerdas membacanya, akan termakan. Ada mis memang dalam mewujudkan ide dan slogan. Cukup insiden politik yang terlewatkan memberi pelajaran kepada rakyat agar lebih hati-hati lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun