Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Jinakkan Radikalisme, Presiden Jokowi Wajib Lakukan Ini

12 November 2019   07:53 Diperbarui: 13 November 2019   07:37 865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kekerasan dan Kesenjangan ekonomi, ilustrasi: diolah pribadi

Berbagai literatur yang kita baca dan pemberitaan yang terpublikasi di media massa. Soal gerakan radikalisme seperti wabah penyakit menular. Radikalisme menjadi ancaman dan bahaya laten di tengah-tengah masyarakat. Namun bagaimana cara menangkalnya?

Banyak ahli, instansi terkait, bahkan mantan orang-orang yang mengaku telah terlibat dalam gerakan radikalisme berucap problem utamanya terkait ideologi. Fanatisme beragama, penganut paham tertutup, anti Pancasila, dan lain sebagainya.

Fenomena gerakan radikalisme yang besar dan dibesar-besarkan media massa, target utamanya adalah memicu keresahan publik.

Melakukan aksi yang berharap reaksi publik. Menebar teror atau ketakutan, mereka para teroris mencari perhatian. Paling menonjol yang menjadi sasaran yaitu perhatian pemerintah.

Ada semacam kesan yang timbul para gerbong teroris menjukkan protesnya pada pemerintah. Memperlihatkan kekuatan melalui tindakan yang dilarang semua agama. Teror yang berdampak kekerasan tidak pernah diajarkan agama manapun di Indonesia.

Penganut aliran sesat, gagal paham terhadap perintah agama sebetulnya minim dalam kasus terorisme ini. Yang berpotensi unggul dalam pertarungan kepentingan ialah berakar pada ekonomi, ketidakadilan dan kurang percayanya kelompok-kelompok teroris ini pada pemerintah.

Lihat saja mereka membuat lumpuh aktivitas di ruang-ruang publik. Tempat keramaian umumnya yang disasar. Para pengamat, ahli jebolan kampus juga punya banyak argumen dan dalil soal ini.

Jika ditelisik, terorisme yang ordinatnya dari istilah yang kita sebut radikalisme telah dibumbui kepentingan politik. Radikalisme bukan lagi soal ideologi agama tertentu. Simbol dan atribut keagamaan malah menjadi tumbal yang diperalat. Permainan politik, 'peternak teroris' juga dicurigai masih ada.

Mari kita ingat-ingat lagi, insiden terorisme sering mencuat disaat momentum politik. Di saat negara lagi merancang atau memutuskan sesuatu hal yang besar, kadang isu terorisme dicurigai sebagai pengalihan.

Kalau mau serius menumpas terorisme pemerintah jangan susahkan rakyat. Menurut hemat saya, persoalan ekonomi kesejahteraan menjadi penyebab penting. Kemiskinan selalu berada dalam memori kolektif rakyat Indonesia.

Harga bahan-bahan ekonomi dibuatkan murah. Pertumbuhan ekonomi masyarakat ditopang, korupsi diberantas tanpa tebang pilih. Keadilan diterapkan, rakyat diperhatikan secara merata dan benar.

Ketika itu dilakukan pemerintah secara berkala, pasti radikalisme hilang dengan sendirinya. Perihal ekonomi ini menjadi paling utama.

Sejauh yang kita ikuti selaman ini cara penyelesian dan pendekatan konflik yang dilakukan instansi-instansi terkait kepada para pelaku teroris atau diduga kuat terlibat terorisme, adalah dengan memberikan pembinaan. Mendorong agar terlahirkan kemandirian ekonomi berupa dana-dana taktis yang menopang usaha mereka.

Agar menjadi pengusaha mandiri, bekerja profesional, meningkat pendapatan ekonomi rumah tangga mereka, dan seterusnya. Intinya pemerintah memberikan bantuan dana stimulus, bagi saya itu kurang tepat dan setengah hati.

Sebetulnya, pemerintah tidak hanya menggelontorkan dana terbatas pada oknum atau kelompok yang dicurigai dan terpalar radikalisme saja. Lebih luas lagi cakupan pembedayaan, pembinaan, usaha melibatkan mereka dalam pergaulan sosial. Jangan dikucilkan mereka, jangan terus-menerus diintai.

Sebab secara umum orang yang jika benar terdoktrin dan karena ideologi tertentu lalu menjadi teroris, maka tekanan dan beratnya dampak yang dihadapi akan tetap mereka hadapi.

Beragam testimoni dari mantan teroris dan mereka yang pernah mengaku korban. Paling tidak tergambar dalam tutur kata mereka ada penyesalan.

Latar belakang mereka bergabung menjadi teroris paling tidak hanya karena alasan ekonomi. Boleh jadi bila tidak disampaikan secara gambang, tapi hal itu tak boleh diabaikan. Berarti pemerintah harusnya memperhatikan kesejahteraan rakyat.

Jangan memerangi radikalisme secara membabi-buta dan salah sasaran. Pengayaan agar kelompok teroris sadar dan mengurungkan niat menjadi teroris yaitu dengan pendekatan yang manusiawi. Perbaiki kebijakan ekonomi kita di Indonesia. Rakyat jangan dibuat susah dan miskin melarat oleh pemerintah.

Itu dulu yang harus dikaji dan direnungkan pemerintah. Jangan main menggeneralisir ketika melihat orang jidat hitam, pakai cadar, celana jingkrak, pakai sorban, berjanggut panjang, pakai cila, pakai siwak, dan simbol-simbol keislaman lainnya. Cara pandang yang sangat tidak mendidik dan diskriminatif.

Terorisme, Komunisme dan Separatisme Membahayakan 

Pemerintah masih belum adil dalam menangani problem kebangsaan. Terlihat diantaranya dari perlakuan istimewa atas kasus seperatisme di Indonesia dan terorisme yang umumnya melibatkan oknum-oknum yang kebetulan berKTP Islam. Padahal terorisme, komunisme, dan separatisme itu levelnya sama yakni penganut radikalisme.

Ada isu yang kelebihan dosis diangat. Ada yang didiamkan, menarik juga. Seperti itu pun isu bahaya laten komunis, kini menghilang entah ke mana. Redup, tak lagi digoreng.

Semua muncul diwaktu yang tepat yakni musim politik. Kalau isu bahaya laten komunisme lenyap, separatisme menurun gemanya, kenapa isu radikalisme agama (terorisme) terus meningkat?. Ada-ada saja. Phobia cadar, celana jingkrak menguat saat ini dan dipelopori pemerintah malah.

Fitrahnya negara tak boleh curang seperti itu. Kalau menindak tegas para pelaku terorisme sampai dibesar-besarkan media massa, harusnya pelaku seperatisme yang mengancam integrasi negara juga dicap teroris. Mereka layak dibesar-besarkan sebagai kelompok yang anti Pancasila.

Dari hal semacam itu, pemerintah masih terkesan diskriminasi. Kedepan, perlu dirubah metode-metode pengananan serupa. Jangan tekesan memuliakan masyarakat satu, dan mendiskreditkan masyarakat lainnya. Berbuatlah adil pemerintah Indonesia.

Pendekatan tersebut justru menjadi ukuran. Bagaimana niat hati dan bijaknya pemerintah menyelesaikan persoalan-persoalan kebangsaan. Kalau masih ada sekat itu, makin berat menuntaskan radikalisme.

Pada akhirnya, tema-tema radikalisme di masyarakat sekedar sebagai horor yang ditertawakan. Menjadi usang, memuat mual perut masyarakat. Masyarakat boleh jadi akan berkesimpulan radikalisme agama, radikalisme politik, radikalisme ekonomi, budaya dan lain sebagainya hanyalah proyek politik.

Dan pemerintah jangan baper bila mendengar dan melihat langsung respon tersebut. Itu semua juga karena pemerintah kurang serius, tidak optimal dan main-main dalam menyelesaikan masalah bangsa. Pemerintah perlu ketegasan dengan cara-cara yang adil.

Mau perangi radikalisme, pemerintah harus sejahterakan rakyat. Paling rendahnya, dengan sejahterakan rakyat gerakan terorisme terbendung. Jangan menutup mata, mengabaikan masyarakat miskin. Karena kemiskinan mendekati kekufuran.

Rakyat yang miskin mudah putus asa, cepat tergoda dengan bujuk rayu uang dan peningkatan pendapatan ekonomi. Rakyat dibiarkan miskin ini rawan.

Berpeluang ada kelompok pemenang proyek terorisme merangkul mereka. Rakyat mudah tergiur bila kelaparan. Otomatis mereka rakyat yang kurang mampu dikasi uang dengan konsekuensi berat pun dilakukan akhirnya. Dengan terpaksa.

Iming-imingnya hidup kaya raya. Lepas dari penjara kemiskinan, mereka tidak lagi kesusahan. Skenario ini akan berjalan, manakala pemerintah tidak mengambil sikap tegas memotong mata rantai kemiskinan dan kemelaratan yang diderita masyarakat.

Untuk diketahui jumlah penduduk miskin pada Maret 2019 sebesar 25,14 juta orang, menurun 0,53 juta orang terhadap September 2018 dan menurun 0,80 juta orang terhadap Maret 2018.

Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2018 sebesar 6,89 persen, turun menjadi 6,69 persen pada Maret 2019. Tentu masih jauh dari harapan kita semua.

Totalnya 9,41 persen dari data BPS. Sementara itu, terciptanya kesejahteraan rakyat adalah salah satu tujuan utama pendirian negara Republik Indonesia.

Sejahtera merupakan keadaan sentosa dan makmur yang diartikan sebagai keadaan yang berkecukupan atau tidak kekurangan, yang tidak saja memiliki dimensi fisik atau materi, tetapi juga dimensi rohani.

Kalau kelompok radikalisme telah berhasil dijinakkan, mau perintah apapun akan mereka ikuti. Sejahat dan liar apapun, ketika seseorang telah disentuh kebutuhan utamanya, diikuti mauannya pasti dia patuh. Dia akan mengikuti apa yang diinginkan orang yang menjinakkannya.

Caranya, penuhi kebutuhan rakyat. Sejahterakan rakyat, Pak Presiden Jokowi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun