Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengembalikan Marwah Politik

15 Oktober 2019   20:31 Diperbarui: 15 Oktober 2019   21:33 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sketsa kekuasaan politik (Dok Koran Sindo)

POLITIK sudah bukan menjadi ladang pengabdian. Kini esensi itu bergeser menjadi sekedar kompetisi kekuasaan. Mencapai kekuasaan lalu mendapatkan materi. Politik akhirnya mengalami bias orientasi. Kebiasaan para politisi mempraktekkan politik uang, barter kepentingan mestinya diakhiri.

Kemerosotan demokrasi kita juga karena penyebab kita membudayakan voting, dan target menang. Yang ini kemudian mengabaikan proses-proses yang baik, mengesampingkan musyawarah mufakat. Bobot demokrasi terpinggirkan lantaran konstituen disuguhi praktek-praktek politik materialistik, dan secara otomatis merendahkan pilihan rasional.

Publik figur atau tokoh yang tidak layak dalam ukuran kepemimpinan politik, karena dukungan financial akhirnya dipilih masyarakat. Perjalanan demokrasi kita seperti robot, yang arah geraknya diatur para bandar. Pemilik modal punya peranan penting disini dalam menentukan kemenangan politik.

Pada situasi persaingan politik, rasionalitas dan idealitas bukan menjadi faktor determinan. Kepintaran, pengalaman, loyalitas ke publik, dedikasi, integritas, dan kepemimpinan yang telah teruji tidaklah menjadi jaminan seorang politisi menang.

Modal sosial bukan pula menjadi asset politisi di era politik liberal. Kita di Indonesia perjalanannya memasuki gerbang demokrasi liberal. Penandanya jelas, interaksi dan transaksi kepentingan global, melalui politik konsesi nampak terlihat.

Di wilayah-wilayah yang memiliki kekayaan sumber daya alam, banyak gejolak bermunculan. Politik disana menjadi pertarungan bagi para pemilik modal atau pengusaha besar. Guna mengamankan saham dan asset perusahaan pertambangan misalkan, para investor harus berinvestasi dalam Pilkada. Targetnya tentu menguasai.

Agar pendonor dana mudah mengelola atau mengendalikan penguasa daerah kedepannya, ketika menang. Kompetitor di daerah yang menang dalam kontestasi politik tersandera. Terkontaminasi pandangan politik, resourcesnya pun tidak tunggal, melainkan dari beberapa pihak.

Kultur berpolitik kita memang penuh dengan 'perkawinan kepentingan'. Mereka yang unggul dalam politik biasanya punya jejaring dan relasi yang luas. Diantaranya, politisi yang lihai membangun komitmen. Mencari penyumbang dana untuk pemenangan politik. Hasilnya terjadilah dispensasi biaya operasional politik.

Para pemegang saham dalam prosesi selanjutnya bakal berkuasa. Kemudian politik kompensasi tumbuh subur. Itulah resikonya politik kawin silang yang dilakukan politisi. Padahal marwah politik kita tidak mengajarkan hal-hal itu. Semestinya politik nilai yang dibangun, bukan politik dagang sapi.

Politisi mengejar komitmen kelompok tertentu dan perseorangan, kepentingan publik diabaikan. Matinya politik yang beradab tinggi ketika berhadapan dengan gaya praktek politik pasar gelap. Biasanya mereka yang bermain di pasar gelap tidak terlalu ambil pusing dengan etika, norma dan humanisme.

Para politisi disana saling menggembosi. Konsensus moral kadang diabaikan, demi mengejar opsesi jabatan tertentu para politisi tak segan-segan saling membunuh karakter. Apalagi lawan politik, mereka tidak memikirkan perasaan dan nurani, yang penting hanyalah menang bertarung.

Marwah politik yang tercerabut harus dikembalikan. Rumusnya bagaimana?, tentu kita perlu merekonseptualisasi cara berpolitik kita. Lakukan internalisasi nilai etika dan moral politik. Lembaga-lembaga pengawasan perlu lebih aktif lagi, tegas dalam pemberian sanksi. Hajar tanpa ampun bagi mereka para politisi yang bermain politik uang.

Jangan kompromi. Termasuk dengan rekayasa hasil suara disaat pemilihan. Perkuat tiap tahapan pemilihan, edukasi politik diintenskan. Partai politik pun kita ajak pengurusnya berfikir terbuka. Mengedepankan proses politik yang bernurani. Taat asas, hormati proses demokrasi.

Berhenti mengambil jalan pintas untuk meraih kemenangan. Kedaulatan demokrasi ditarik ke khittahnya. Yang berada ditangan rakyat haruslah demokrasi yang konsekuen. Jangan lagi ada perspektif bahwa untuk menang Pemilu, politisi perlu menjalin hubungan gelap dengan penyelenggara Pemilu.

Bagi politisi yang terbiasa lahir dari hubungan gelap, berarti saatnya bertaubat. Pemimpin yang terlahir dari hubungan gelap merupakan anak haram demokrasi. Jika ada yang pernah hilaf dan melakukan itu, masih ada waktu, insyaflah. Kembali ke jalan yang benar. Hidupkan kewajiban demokrasi, hargai prosedur yang dibuat.

Melalui cara-cara yang etis, maka marwah demokrasi akan kembali. Secara otomatis, ketika demokrasi kembali pada porsi idealnya, maka marwah politik terselamatkan. Jika demokrasi sebagai alat, politiklah tujuannya. Dari politik embrio pelayanan kesejahteraan, keadilan, peradaban dan kemanusiaan terwujud.

Politik yang ditafsir sebagai sekedar usaha merebut kekuasaan, mempertahankan perlu dilanjutkan sampai pada tujuan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Tanpa politik rakyat hidup tak beraturan, hilang orientasinya, hilang harapan berarti. Politik merupakan jalan bersosial, jalan mengkonsolidasi kepentingan publik.

Dengan politik berarti kita berbicara tentang penentuan nasib banyak orang. Jangan makna politik dipersempit melalui cara-cara destruktif, menjadi sebatas perebutan kepentingan. Politik juga bukan sekedar pengetahuan tentang cara untuk menang, tapin ada adab. Bukan soal cara untuk 'menghabisi' musuh dalam kompetisi kekuasaan.

Bukan pula tentang bagaimana cara mengkudeta orang disaat berkuasa. Politik itu pengetahuan universal. Ia melingkupi hajat hidup manusia yang ada di dunia, kita tak bisa hidup tanpa politik. 

Namun, politik bukan hal profan yang menjijikan, melainkan ajaran dan pengetahuan tentang kemanusiaan. Bagaimana merawat gotong royong, politik mengatur tentang seni memerintah, sekaligus cara-cara etis mengkonversi cita-cita menjadi kesejahteraan dan kedamaian bagi semesta. 

Politik bukan dilakoni dengan marah-marah penuh amarah dan emosi. Politik itu tentang kemanusiaan. Bukan pula terkait propaganda, saling tikung, anarkisme, tipu muslihat, hasut serta adu domba. 

Melainkan merawat kemanusiaan, relasi sosial, kompetisi politik sebagai ajang festival gagasan. Pameran kewarasan atau akal sehat, bukan bermain intrik dan panggung sandiwara. [*]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun