Jika aku ingin, begitu sukanya dirimu...
Bibir tak lagi terkatup rapat
Mata tak lagi liar berkedip
Senyummu mengembang manja sementara lentik jemarimu berusap pada rahang kananku....
Lekuk tubuhmu aduhai bagai lembah arjuna
Semakin mempesona kala tubuhku berkerudung aroma melati
Kau semakin gila memberi gairah
Memberi bunga-bunga tanpa cinta
Sedangkan bisikmu pada daun telingaku.... hanya pura-pura
Tapi kepura-puraanmu selalu memberi bahagia
Walaupun hanya sejenak...., tapi enak....
Sudah pukul 19.31 aku tiba tepat disamping pojok selatan POM bensin Sawahan. Tak ada yang aneh, semuanya seperti hari-hari biasanya. Lalapan mbak Mamik di seberang barat pom-pun tampak ramai pembeli mengantri. Bahkan truck ekspedisi pojok pertigaan-pun masih seperti biasanya, terparkir berjajar rapi. Bahkan ada satu yang parkir tepat di pojok pertigaan sebelahh timur, itupun kerap aku jumpai. Mengganggu, memang. Tapi aku tak ada urus. Biarlah yang berwenang yang punya urus.
Sepanjang kawasan Sawahan sepertinya perlu perhatian khusus dari pemerintah daerah setempat. Kalau boleh dibilang, di sini bisa dikatakan kawasan kuliner yang tak kalah dengan tempat lain. Sayangnya ketersediaan tempat parkir sangat minim. Sehingga beberapa pelanggan harus menempatkan kendaraanya di ruas jalan, dimana mau tidak mau sedikit mengganggu kelancaran lalu lintas. Walaupun tidak begitu signifikan.
Hampir 30 menit aku duduk dipojok menikmati suasana. Bunyi peluit tukang parkir bersahutan tiada henti. Terkadang suaranya keras menghantam keriuhan lalu lalang kendaraan untuk memberi aba-aba kendaraan yang akan parkir maupun meninggalkan tempat.Â
Kopi hitam masih mengepul didepanku. Pahit! Tapi itu memang pesananku. Menikmatinya tidak sendiri. Beberapa anak muda dibelakangku sebagian cewek nampak duduk berjajar menghadap minumannya masing-masing. Aku tersenyum melihatnya. Mereka janjian datang walaupun tidak bersamaan, setelah sampai disitu duduk manis dan memelototi gadget-nya sendiri-sendiri.
Kubuka tutup cangkir kopiku, dan kuseruput isinya. Rasa pahit pertama kurasa pada ujung pangkal lidah bagian atas. Perlahan rasa manis menyusul menghantar masuk dalam kerongkongan. Kehangatannya menyelimuti seluruh kerongkongan hingga dinding perut. Entah memang perutku yang tak beres ataukah memang masuk angin. Beberapa saat kemudian pintu belakang terbuka cepat dan keluar kentut menerobos dua lapis celanaku. Tak bersuara keras memang, tapi cukup terdengar oleh telingaku sendiri. Untungnya anak-anak uda dibelakangku tak mendengarnya.Â
Tiada pernah kau merasa jemu jenuh....
Kau selalu menawarkan dengan kerlingmu
Merajuk..... merayu....
Tiada pernah kau sembunyi senyum
Bahkan....
Bibirmu binal memerah menggairahkan
Tak lama sepi ditengah keramaian mulai luluh. Satu persatu jengah dan meletakkan gadget-nya. Ada tampak mata memerah dan sayu setelah bermain jari jempol pada layar kaca. Si Buyung memecah ketegangan.
"Te, minta es tehnya satu lagi ya !" pinta Buyung sambil berjalan menuju gantungan kerupuk. Si Buyung berdiri membelakangi salah seorang bapak yang duduk disitu. Pantatnya persis dibelakang kepalanya. Tanpa ada ucapan sepatahpun untuk permisi atau lainnya.
"Oh..., aku kira kau sudah tak butuh air lagi. Berapa lama gelas minumanmu kosong, dan kau tetap saja bermain sambil mengisap rokokmu."
"Ah, tante. Kalau lagi asyik nge-game, lupa segalanya lah. Apalagi soal minuman." Timpal si Buyung sambil berjalan melewati tempat dudukku yang lebih rendah dari dia berdiri.
Setelah duduk kembali, si Buyung mengarahkan pandang pada smartphone-nya. Tapi kali ini dia tidak main game, tetapi menggulir keluar dari aplikasinya.