Mohon tunggu...
Asa  Wahyu  Setyawan Muchtar
Asa Wahyu Setyawan Muchtar Mohon Tunggu... Guru honorer -

Asa Wahyu Setyawan Muchtar lahir di Malang, 1971. Cerita pendeknya Kastawi Budhal Perang dimuat dalam buku Pidato Tengah Malam, Dukut Imam Widodo, penerbit Dukut Publishing, Surabaya, 2015. Sebagian tulisannya bertema seni budaya dan pendidikan dipublikasikan di harian pagi Malang Post, majalah Berkat (Surabaya). Intens mengaransemen beberapa lagu ( khususnya bertema rohani) dan pernah ditampilkan dalam Pesta Vocal Group Antar Gereja (Peskaldag) tahun 2013 dan 2015 di Malang. Sebagai guru honorer seni budaya dan menjadi peserta aktif dalam Diklat P4TK Seni dan Budaya di Sleman, Jogjakarta tahun 2010 dan 2012. Kini bermukim di Kebonagung Malang. Didapuk sebagai Ketua 1 Eklesia Prodaksen Kebonagung Malang dan penggagas Kelas Menulis di Kebonagung. Bersama tim Eklesia Prodaksen sedang menyiapkan Festival Budaya Kebonagung tahun 2016 dan Antologi Kebonagung yang menghimpun berbagai tulisan dan fotografi tentang Kebonagung. Konsep: Ikutilah kemana imajinasimu mengembara, dan ciptakanlah karya disitu tanpa batasan waktu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lacur, Pelacur

26 April 2018   07:52 Diperbarui: 26 April 2018   15:37 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jika aku ingin, begitu sukanya dirimu...

Bibir tak lagi terkatup rapat

Mata tak lagi liar berkedip

Senyummu mengembang manja sementara lentik jemarimu berusap pada rahang kananku....

Lekuk tubuhmu aduhai bagai lembah arjuna

Semakin mempesona kala tubuhku berkerudung aroma melati

Kau semakin gila memberi gairah

Memberi bunga-bunga tanpa cinta

Sedangkan bisikmu pada daun telingaku.... hanya pura-pura

Tapi kepura-puraanmu selalu memberi bahagia

Walaupun hanya sejenak...., tapi enak....

Sudah pukul 19.31 aku tiba tepat disamping pojok selatan POM bensin Sawahan. Tak ada yang aneh, semuanya seperti hari-hari biasanya. Lalapan mbak Mamik di seberang barat pom-pun tampak ramai pembeli mengantri. Bahkan truck ekspedisi pojok pertigaan-pun masih seperti biasanya, terparkir berjajar rapi. Bahkan ada satu yang parkir tepat di pojok pertigaan sebelahh timur, itupun kerap aku jumpai. Mengganggu, memang. Tapi aku tak ada urus. Biarlah yang berwenang yang punya urus.

Sepanjang kawasan Sawahan sepertinya perlu perhatian khusus dari pemerintah daerah setempat. Kalau boleh dibilang, di sini bisa dikatakan kawasan kuliner yang tak kalah dengan tempat lain. Sayangnya ketersediaan tempat parkir sangat minim. Sehingga beberapa pelanggan harus menempatkan kendaraanya di ruas jalan, dimana mau tidak mau sedikit mengganggu kelancaran lalu lintas. Walaupun tidak begitu signifikan.

Hampir 30 menit aku duduk dipojok menikmati suasana. Bunyi peluit tukang parkir bersahutan tiada henti. Terkadang suaranya keras menghantam keriuhan lalu lalang kendaraan untuk memberi aba-aba kendaraan yang akan parkir maupun meninggalkan tempat. 

Kopi hitam masih mengepul didepanku. Pahit! Tapi itu memang pesananku. Menikmatinya tidak sendiri. Beberapa anak muda dibelakangku sebagian cewek nampak duduk berjajar menghadap minumannya masing-masing. Aku tersenyum melihatnya. Mereka janjian datang walaupun tidak bersamaan, setelah sampai disitu duduk manis dan memelototi gadget-nya sendiri-sendiri.

Kubuka tutup cangkir kopiku, dan kuseruput isinya. Rasa pahit pertama kurasa pada ujung pangkal lidah bagian atas. Perlahan rasa manis menyusul menghantar masuk dalam kerongkongan. Kehangatannya menyelimuti seluruh kerongkongan hingga dinding perut. Entah memang perutku yang tak beres ataukah memang masuk angin. Beberapa saat kemudian pintu belakang terbuka cepat dan keluar kentut menerobos dua lapis celanaku. Tak bersuara keras memang, tapi cukup terdengar oleh telingaku sendiri. Untungnya anak-anak uda dibelakangku tak mendengarnya. 

Tiada pernah kau merasa jemu jenuh....

Kau selalu menawarkan dengan kerlingmu

Merajuk..... merayu....

Tiada pernah kau sembunyi senyum

Bahkan....

Bibirmu binal memerah menggairahkan

Tak lama sepi ditengah keramaian mulai luluh. Satu persatu jengah dan meletakkan gadget-nya. Ada tampak mata memerah dan sayu setelah bermain jari jempol pada layar kaca. Si Buyung memecah ketegangan.

"Te, minta es tehnya satu lagi ya !" pinta Buyung sambil berjalan menuju gantungan kerupuk. Si Buyung berdiri membelakangi salah seorang bapak yang duduk disitu. Pantatnya persis dibelakang kepalanya. Tanpa ada ucapan sepatahpun untuk permisi atau lainnya.

"Oh..., aku kira kau sudah tak butuh air lagi. Berapa lama gelas minumanmu kosong, dan kau tetap saja bermain sambil mengisap rokokmu."

"Ah, tante. Kalau lagi asyik nge-game, lupa segalanya lah. Apalagi soal minuman." Timpal si Buyung sambil berjalan melewati tempat dudukku yang lebih rendah dari dia berdiri.

Setelah duduk kembali, si Buyung mengarahkan pandang pada smartphone-nya. Tapi kali ini dia tidak main game, tetapi menggulir keluar dari aplikasinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun