Mohon tunggu...
Deddy Daryan
Deddy Daryan Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati pendidikan, menulis fiksi

HIdup ini singkat, wariskan yang terbaik demi anak-cucu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dan Langit Pun Tersenyum (The Lovers)

10 Januari 2018   17:27 Diperbarui: 10 Januari 2018   17:33 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Si Militan

Apabila kita merenung, atau melakukan semacam refleksi, mengevaluasi diri secara jujur perjalanan hidup kita, ternyata tidak sedikit hal-hal yang telah kita lalui, mestilah kita syukuri. Sekalipun kepahitan demi kepahitan selalu saja mendera kita. Baik yang datangnya dari dalam diri kita sendiri, maupun dari luar dalam spektrum miliu yang rumit. Selalu ada hikmah di sana, sebutlah begitu, ada intisari nilai jika kita ingin mengambilnya. 

Kecuali bagi orang-orang yang bebal, yang tidak mampu atau tidak peduli dengan apa yang telah dialaminya dalam episode-episode kehidupannya. Sedangkan orang-orang yang mengutamakan nilai-nilai spiritualitas dalam kehidupannya akan dengan mudah menyikapi proses perjalanan hidupnya. Sebagaimana mereka yang memilih totalitas hidupnya dengan perspektif keindahan, selalu memandang proses hidupnya dengan satu kalimat singkat; life is art. Orang-orang ini tak akan pernah rumit apalagi menyusahkan dirinya sendiri mengisi rutinitas kesehariannya hingga ajalnya tiba.

           Tidak sedikit pula orang yang sukses hidupnya berawal dari kepahitan demi kepahitan tadi. Namun, terkadang ketika ia sukses, tidak lagi konsisten ketahanannya dalam menghadapi godaan dan cobaan, seperti saat dia berada dalam suasana kesusahan itu. Lalu ia terlempar lagi ke wilayah derita akut. 

Lalu ia meratapi dan menyumpahi dirinya sendiri, seringkali bahkan Tuhan dijadikannya 'terdakwa'. Pada gilirannya, ia berakhir dalam penjara atau di rumah sakit didampingi botol infus sampai akhir hayatnya. Banyak dari mereka memilih hidup sia-sia, mati pun dalam keadaan terhina.

          Meskipun tidak sukses dipandang dari perspektif apa pun juga, tapi aku berupaya sekuatnya untuk bersyukur, aku takut kembali menjadi tukang cukur dan pengasah pisau keliling, menyisiasati dua tahun pertama aku merantau di Bandung dulu. Rasanya aku tak mungkin lagi tahan, berjalan kaki, berkilo-kilometer jauhnya setiap hari mencari objek wawancara, atau berita untuk bahan tulisan. Aku tak sanggup lagi berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun menjalani hidup yang tidak pasti bermuara kemana, dan akan sampai dimana, seperti yang kualami dalam perantauan beberapa tahun silam. 

          Dan lebih tidak mungkin lagi, sekiranya aku harus kembali pulang kampung. Membuka hutan untuk berkebun atau bekerja serabutan, atau menjadi nelayan tradisional, sepanjang hidup berada di laut, bercanda dengan maut seperti teman-temanku masa kecil. Dan yang lebih menggiriskan lagi, apabila kita tak tahu persis apa maksud Tuhan menciptakan kehidupan ini untuk kita.

             Apa yang sudah kuraih sejauh ini sudah melebihi dari apa yang kuinginkan. Bagaimana seandainya dulu aku tidak diperkenalkan dengan seseorang, yang sekarang kupanggil Bang No'. Kemudian orang-orang istimewa dalam hidupku seperti Kang Eman, Bang Asril, Kang Yuyun, Mas Pran, dan Pak Cik Alex A. Rachim, yang tidak pernah berhenti menyemangatiku untuk terus melangkah dan berjuang maraih cita-cita. Kuingat setiap kali menemuinya di kantor redaksi 'AB', Mas Pran dengan senyum wibawanya menyapaku dengan sebutan si 'militan' agar aku tetap gigih melangkah menerjang tantangan. Pak Alex menyerahkan sejumlah buku kesayangannya agar aku menjadi orang berbobot dalam hidup ini. Mereka itu adalah orang-orang yang hebat yang pernah kukenal.

             Tak pernah kubayangkan sebelumnya. Jika dulu aku tak berani meninggalkan kampung halamanku dengan modal nekad, bisa jadi aku kini menjadi tukang angkat koper bekerja sebagai porterdi  Bandara Buluh Tumbang tanah kelahiranku,  seperti teman-temanku semasa SD dulu yang sampai kini masih di situ. Setidaknya sekecil apa pun pencapaian yang kita raih memang patut disyukuri.

             Kusibakkan kain gorden jendela hotel, kupandangi The Midtown Manhattan dari lantai enam belas. Ada kelebat sang waktu di sana.  Menari-nari seolah mengejek mereka yang tidak peduli dengan hakekat kehidupan. Kelebat sang waktu juga bisa jadi memang mengajakku, untuk senantiasa melakukan kalkulasi rinci terhadap apa yang sudah kuperbuat. Sekaligus terhadap apa yang akan kulakukan berikutnya, walau sering tanpa diduga momen-momennya, seolah muncul begitu saja. Aku tahu pasti ada Pemilik skenarionya.

              Saat itu kuingat ketika aku menemani Sendi anaknya Bang No' berlibur ke Amerika. Dalam kamar hotel aku membolak-balik halaman majalah  edisi bulanan; "The Newest". Isi majalah ini nyaris lengkap, semua hal yang baru; termutakhir ada di dalamnya. Mulai dari alat pencukur kumis dan jenggot, alat-alat kecantikan wanita terkini, penemuan baru obat penenang yang diperuntukkan bagi mereka yang memiliki potensi tinggi untuk stress, penawaran brosur biro perjalanan internasional sampai pada 'sexdolls for men' yang laris manis bagi pria kesepian, tak mau bermasalah dengan hubungan intimnya dengan wanita sungguhan. Lalu ada sebuah tulisan lengkap dengan gambar-gambarnya, yang bertajuk;  "How To Kiss Passionately". Profesional sekali penyajiannya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun