Mohon tunggu...
Lana D. Wirasasmita
Lana D. Wirasasmita Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang pengelana kehidupan masa lalu, kini, dan masa yang akan datang

memiliki ketertarikan pada hal ikhwal bernilai historis, termasuk seni dan budaya. Penikmat sastra dan musik klasik, penyuka barang antik namun tak hobi mengoleksinya, mendukung kearifan lokal demi tercipta harmoni semesta

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

WFH Telah Menciptakan Ruang dan Jarak diantara Keluwesan Jari-jemari

26 Juli 2021   09:14 Diperbarui: 27 Juli 2021   01:32 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tahun 2021 adalah tahun ke-2 Indonesia memasuki masa pandemi global Covid-19, sekaligus merupakan tahun ke-2 penerapan Working From Home (WFH) bagi para pegawai kantoran. Jenuh? Pastinya. Banyak rekan-rekan kerja mengeluh karena sudah setahun lebih mereka bekerja di rumah. 

Pada awalnya kondisi ini cukup menyenangkan karena dengan demikian para pegawai kantoran tersebut bisa memiliki banyak waktu berkumpul bersama keluarga yang selama ini hanya sempat bertemu di kala hari sudah gelap, dan ditambah akhir pekan. Itupun jika tidak dipotong dengan adanya perjalanan dinas atau tugas-tugas kantor lainnya yang mengharuskan mereka tetap bekerja di akhir pekan.
 
Pandemi Covid-19 yang terjadi secara global, dalam sekejap telah mengubah gaya hidup kita termasuk cara kita berkomunikasi. Teknologi menjadi andalan dan prioritas untuk menunjang komunikasi sehari-hari selama pandemi. 

Koneksi internet kini menjadi primadona. Beragam provider berlomba menawarkan jaringan terbaiknya untuk menunjang komunikasi virtual yang kini telah menjadi kebiasaan baru. 

Selama pandemi, otomatis komunikasi offline menjadi sangat terbatas, padahal komunikasi dengan cara konvensional ini dinilai lebih efektif dibandingkan komunikasi virtual. 

Banyak noise yang dapat ditimbulkan oleh komunikasi virtual sehingga menyebabkan salah menangkap pesan dari si pengirim pesan, misalnya: koneksi internet yang kurang bagus sehingga komunikasi online menjadi tersendat, atau ragam gangguan lainnya yang menyebabkan komunikasi terpecah dan menjadi tidak fokus.
 
Beda halnya dengan komunikasi offline, dimana memerlukan pertemuan tatap muka secara langsung. Selain bahasa verbal, kita juga bisa mengamati bahasa tubuh lawan bicara kita dan menciptakan "rasa". 

Selanjutnya sinyal-sinyal yang dihasilkan dari "rasa" itu diteruskan ke otak kita untuk dapat mengambil keputusan / kesimpulan dari hasil komunikasi tersebut. 

Ini menjadi sangat penting, terutama apabila di sebuah kantor melakukan banyak rekrutmen karyawan baru. Tentunya kedekatan emosional menjadi hal yang utama untuk bisa membangun sinergi yang baik antara karyawan lama dengan karyawan baru.
 
Namun, apa yang terjadi jika si karyawan baru tersebut bergabung di sebuah kantor yang sudah menerapkan aturan WFH sampai dengan hari ini? Mereka hanya dapat bertemu secara offline sesekali saja jika memang ada keperluan mendesak yang mengharuskan mereka datang ke kantor. Kedekatan emosional dengan karyawan lama sulit didapatkan karena komunikasi yang terjalin selama ini sebagian besar dilakukan secara online. Ini bisa menjadi hambatan yang jika dibiarkan berlarut-larut maka bukan tidak mungkin akan membawa dampak negatif terhadap hasil kerja si karyawan baru tersebut. 

Sebagai contoh, dalam keseharian kerja di masa WFH, seluruh karyawan menghabiskan waktunya untuk berkomunikasi melalui whatsapp chat (baca: WA). 

Jari-jemari kita begitu lincah dan luwes dalam menyusun kalimat dengan cepat, namun tidak ada "rasa" yang terbentuk melalui tulisan. Seseorang bisa saja salah menangkap makna tulisan, apalagi tanpa dilengkapi tanda baca yang memadai karena lewat tulisan kita tidak dapat mendengar "intonasi suara".  

Kita tidak tahu apakah seseorang sedang merasa kesal, marah, senang, sedih, bercanda atau serius saat membaca tulisan mereka yang dikirimkan kepada kita, pun sebaliknya.
 
Komunikasi dengan memanfaatkan ragam fasilitas online seperti video call, zoom, google meet, atau lainnya akan sedikit lebih baik daripada komunikasi melalui e-mail, WA, SMS, atau bahasa tulisan lainnya. Namun kemungkinan terjadinya "noise" tetap ada, baik yang disebabkan oleh internal si pengirim ataupun si penerima pesan. 

WFH membuat jari-jemari kita semakin luwes merangkai kata menjadi sebuah tulisan bermakna, namun sekaligus juga telah menciptakan "ruang dan jarak" interpersonal diantara para karyawan kantoran, terutama bagi karyawan baru. Bahasa tulisan tidak melibatkan emosi dan rasa, sehingga bukan tidak mungkin dapat menghambat sinergi antara karyawan baru dan lama karena adanya salah persepsi dalam menangkap pesan yang dikirimkan lewat bahasa tulisan.
 
Namun segala hambatan atau "noise" yang tercipta dari adanya komunikasi interpersonal baik yang dilakukan secara online maupun offline dapat diminimalisir dengan adanya saling pengertian dan keterbukaan diantara individu yang sedang berkomunikasi tersebut. Masing-masing model komunikasi ada kelebihan dan kekurangannya. Itu yang terlebih dahulu harus kita pahami.
 
Tulisan ini sebenarnya ingin menekankan bahwa komunikasi yang efektif itu adalah komunikasi yang melibatkan "rasa dan emosi" seseorang yang hanya dapat terbentuk melalui komunikasi offline / tatap muka. Untuk lebih dapat mengenal seseorang lebih dekat secara personal, maka komunikasi offline tentulah sangat efektif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun