Para pencinta makanan menamakan dirinya foodgram. Pencinta traveling menamakan dirinya travelgram. Sedangkan saya masuk ke Instagram dan menjadi bookstagram. Sebuah sebutan bagi orang-orang pengguna Instagram yang banyak mengunggah foto buku di portofolionya.
Selain hanya mengunggah foto di Instagram, banyak juga yang mengisi keterangan foto dengan ulasan buku telah dibaca. Persis, saya melakukan hal yang sama seperti di platform YouTube. Hanya saja kali ini berbentuk foto dan tulisan, bukan visual dan audio lagi.
Sama seperti saat menekuni YouTube, menekuni Instagram juga membuat saya banyak mendapat manfaat. Banyak menemukan hal-hal baru yang menurut saya bermanfaat, banyak menemukan teman-teman hebat, dan masih banyak lainnya.
3. Kompasiana
Sedangkan pada platform kompasiana ini saya tidak tahu. Apa saja hal yang akan saya dapat setelah menekuni agak lama. Apakah saya akan menemukan pengalaman berharga seperti sebelum-sebelumnya? Apakah saya akan, akan, akan, dan akan lainnya? Entahlah dan semoga saja kegiatan ini membawa banyak manfaat.Â
Saat artikel ini ditulis bahkan pengikut dan yang saya ikuti saja belum genap sepuluh. Jujur saja saya tidak tahu ke depannya akan seperti apa, karena masih sangat baru di platform ini. Sedang mencoba hal baru dan menikmatinya dengan antusias.
Namun setidaknya saya sudah punya satu teman pencinta buku di sini: Irfan Fandi. Seseorang yang sering menjadi tempat saya bertanya mengenai teknis platform kompasiana. Karena dia sangat ramah dan baik.
Kontrol sosial di dunia digital
Hingga saat ini, saya masih sering menemukan konten-konten yang "racun". Banyak "sampah-sampah" yang diunggah orang-orang tanpa mau tahu efeknya. Terutama adalah konten-konten yang sifatnya food, fun, dan fashion berlebihan.
Bayangkan saja saat makanan cepat saji marak. Semua orang dengan mudah bisa memesannya. Hal ini tidak apa-apa. Hanya saja ketika kita berlebihan menggunakannya dan melupakan produktivitas. Kita akan berperilaku menjadi konsumtif. Dan ini melemahkan diri sendiri seakan tidak berdaya.Â