Mohon tunggu...
Teguh Perdana
Teguh Perdana Mohon Tunggu... Editor - Menulis dan Berbagi Cerita

Berbagi Kata Berbagi Cerita

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Mengingat Nasi Hangat Sego Megono dan Dinginya Udara Dieng

15 Juni 2020   07:39 Diperbarui: 19 Juni 2020   17:25 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Dua wanita menikmati keindahan Dataran Tinggi Dieng yang berselimut kabut. (Foto: KOMPAS.com/ANGGARA WIKAN PRASETYA)

Pukul 19.00, kami pun sampai di pasar Kertek. Beberapa toko kelontongan dan baju masih terlihat buka. "Tidak jauh lagi dari situ," ungkap seseorang di penghujung telepon mengagetkanku yang tengah melamun menikmati dinginya udara. Benar memang, meskipun masih jauh dari Dieng, hawa dingin aku rasai kala itu semakin menusuk tulang.

Kami melanjutkan perjalanan, jalan yang sedikit gelap karena kurang penerangan menjadi sajian kami berikutnya. Mobil dan motor kian kentara kami lihat, baik yang akan menuju Dieng atau pulang dari Dieng.

Baru jalan 1 Km, tiba-tiba hujan datang. Deras, membasahi kami yang sedari tadi telah kedinginan. Kamipun berhenti di teras sebuah toko. Hampir 20 menit kami berteduh hingga akhirnya kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan.

Jalan semakin banyak kelokan dan juga tanjakan yang membuat motor meraung. Hingga tidak lama dari itu, rumah besar, dengan bangunan toko di depanya terlihat. Dua orang dengan memegang payung telah bersiap menyambut.

Hawa dingin kian menusuk. Sajian teh hangat manis dan beberapa piring gorengan telah menyambut. Juga, mie hangat --makanan khas kami (anak kos)--- telah tercium dari jauh. Suara petasan pun kian bersahutan dari berbagai arah, apalagi mendekati detik-detik pergantian tahun.

(01/1/19) Pagi yang begitu dingin di tahun yang baru. Sedianya, kami akan menuju puncak Dieng pada pukul 04.00 pagi. Hanya saja, cuaca dan kedaan tidak mendukung kami untuk mewujudkan hal itu.

Pagi harinya, untuk mengusir hawa dingin, kami mencari sarapan yang bukan saja nikmat di lidah tapi juga ramah di kantong.

"Sego megono," ujar temanku.

Sego megono sendiri adalah nasi yang dicampur dengan sayur kol atau kacang panjang dan ditemani dengan gorengan hangat khas Wonosobo. Perpaduan gurihnya bumbu dan segarnya sayur benar-benar membuat kami puas kala itu, apalagi ketika kami tahu bahwa sepiring nasi megono hanya berkisar Rp 3000 kala itu.

Selesai sarapan, akhirnya kami berpamitan dan meminta izin untuk meneruskan perjalanan menuju Dieng. Biasanya, waktu tempuh dari rumah teman kami di Kertek menuju Dieng adalah 30 menit. Hanya saja karena waktu itu adalah hari libur Natal dan Tahun Baru, baru sekitar satu jam kita dapat mencapai puncak Dieng.

dokumen pribadi
dokumen pribadi
Perjalanan menuju Dieng pun amat indah. Meskipun hari telah siang, kabut terkadang masih menyapa kami, ramainya pemandian kalianget juga jalan berkelok dengan suguhan hijaunya pohon dan curamnya tebing-tebing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun