Mohon tunggu...
Bujaswa Naras
Bujaswa Naras Mohon Tunggu... Penulis - Bergiat dalam aktivitas kajian kebijakan publik dan pemerintahan

Bergegas memperbaiki diri untuk Taman Kehidupan Bangsa Indonesia Berdaulat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bertani Fitnah, Panen Hoaks Lebih Menjanjikan?

6 Oktober 2018   10:52 Diperbarui: 6 Oktober 2018   11:24 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.republika.co.id

Menjadi petani tak urung mesti berdamai dengan alam dan musim. Berhadapan dengan hama pengganggu tanaman. Dan paling menyakitkan adalah mesti berhadapan dengan kebijakan pemerintah. 

Pemerintah yang merupakan pelayanan masyarakat, termasuk petani. Sebab mulai dari Presiden Republik, pembantu Presiden yakni para menteri dan badan penyelenggara negara di gaji dari keringat petani, pedagang, kuli pacul lewat pajak atas produk dan jasa yang dikonsumsi. Termasuk pajak tanah sawah dan ladang petani.

Kedaulatan dan nasib petani atas politik pangan dizhalimi. Sebab persoalan impor beras dan pangan 2 juta ton belum tuntas. Bersilewaran dalam media tentang perjalanan kasus, perang argumen, dukung mendukung. Sedangkan siapa yang bertanggungjawab tak jelas. Tidak sanggup bersikap kasatria.

Nasib petani menjadi dagelan para pembantu Presiden, mainan para mafia impor dan politisi hama wereng yang senangnya merusak tanaman petani.

Lain soal dengan bertani fitnah, sawah ladangnya di media cetak, online, televisi. Para petani dengan senang hati membuat artikel, komentar, ulasan argumentatif dengan data dan fakta sesuai dengan kenafsuan binatang. 

Sebagian menjadi kuli tanam, kuli pacul, kuli penyiangan, kuli penebar. Dan atas jasa dan pekerjaan di gaji oleh para tengkulak yang telah mengijon para petani fitnah. Soal upahnya, bila menjadi kuli tanam hanya Rp. 50.000,-/hari. Sedangkan jadi kuli tanam fitnah apalagi yang profesional dan memiliki kelompok terorganisir 'ceritanya' ratusan juta.

Sumber: www.liputan6.com
Sumber: www.liputan6.com
Sedang menjadi tukang panen, mendapatkan lebih banyak. Biasanya akan ada bagi hasil dari panen petani. Atau upah dari tengkulak yang mengijon petani. Dalam kontek panen hoaks biasanya bagi hasil adalah bagian dari kelembagaan pemerintahan, mendapatkan proyek yang nilainya ratusan milyar untuk lima tahun. 

Upah langsungnya termasuk honor bekerja menjadi petani fitnah, membuat dan mengolah sawah berupa berbagai platfrom media. Facebook, Twitter, Instragram, Blog, website, televisi. 

Teringat pepatah orang tua "Bila menanam padi, rumput akan tumbuh, bila bertanam rumput jangan pernah padi akan tumbuh." Maka persoalan fitnah, penanam hoaks, penebar hoaks ibarat menanam rumput (gulma) dan berharap demokrasi dan pemilu 2019 menghasilkan politisi, Presiden dan wakilnya seperti padi bernas.

Mimpi apa sampeyan siang bolong? kata teman penggiat pertanian terpadu organik di sukabumi. Hari senin bisa bantu menyiangi gulma sawah organik di petak sana yang menjadi percontohan ngak? kalu sampeyan ngak ada pekerjaan yang mendesak, lanjutnya.

Pikiran ini masih terganggu oleh lini masa di hp android dari berbagai akun facebook. Up date persoalan penanganan gempa Lombok, Palu-Donggala dan berbagai urun rembuk relawan bekerja siang malam. Simpang siur realisasi penanganan bagi pengungsi dan korban gempa dan tsunami.

Hanya sepenggal do'a kepada Allaah Swt, panen padi kali ini panen besar, bisa bayar hutang bertani, harga pembelian dari Bulog bagus. Dan tidak ada kemarau panjang dan serangan hama tikus dan wereng.

Begitu juga dengan pesoalan merebut legitimasi suara petani untuk menjadi Presiden Republik Indonesia, anggota dewan tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Semoga tidak menjadi hama wereng demokrasi dan penghancur adab, etika dan moral dalam pemilu 2019. 

Apalagi menjadi hama babi yang menghancurkan padi yang hendak dipanen, yang datang malam hari bergerombolan.

Dari jauh terlihat istri datang membawa makanan untuk santap siang. Sudah masanya menikmati nasi dari beras sawah sendiri dan bukan nasi dari beras impor para menteri yang senang berkelahi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun