Mohon tunggu...
Rivki Maulana
Rivki Maulana Mohon Tunggu... -

Dinu Kiwari Ngancik Nu Bihari

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hikayat Mangle

5 Juli 2011   11:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:55 1939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mangle, majalah berbahasa Sunda terbit lebih dari setengah abad.  Terus bertahan meski kendala kian menghimpit.

Mangle lahir pada  21 Oktober 1957 di Bogor namun baru terbit satu bulan kemudian,yakni pada 21 November 1957 dan hari itulah yang dijadikan hari lahir Mangle. Para pendiri mangle adalah tujuhsekawan yang kuliah di IPB dan IKIP Bandung. Mereka adalah Oeton Moechtar, Rochamina Sudarmika, Saleh Danasasmita, Wahyu Wibisana, Sukanda Kartasasmita, Ali Basyah dan Abdullah Romli. Ketujuh sekawan ini merupakan anggota organisasi Putera Sunda yang kemudian berafiliasi dengan Badan Musyawarah Masyarakat Sunda.

Era di mana Mangle lahir adalah zaman  ketika Orde Lama masih berkuasa. Pada waktu itu, media massa, harus berafiliasi dengan partai politik sebagai perwujudan doktrin  politik sebagai panglima. Dalam hal ini, Mangle tidak berafiliasi dengan parpol manapun.

Menurut pengakuan Oedjang Daradjatoen, pemimpin Umum cum Pemimpin Redaksi Mangle,kala itu Mangle  menyebrang ke militer. “Dulu pernah sampul Mangle gambar Siliwangi (maung),” katanya. Namun, kemesraan Mangle dengan militer tak berlangsung lama. Setelah suasana pasca Gerakan30 September  semakin kondusif, Mangle “bercerai” dengan militer.

Orang yang pertama kali menggagas pendirian Mangle adalah Wahyu Wibisana, kontributor majalah Warga, milik Nani Sudarma. Terdorong oleh keinginan berkarya sendiri, Wahyu mengutarakan maksudnya ke Oetoen Moechtar.  Terjadilah diskusi diantara tujuh sekawan itu untuk membuat majalah berbahasa Sunda. Modal awal untuk menghidupkan Mangle ini berasal dari kantong pasangan Oeton Mochtar dan Rochamina Sudarmika. “Perhiasan ibu saya habis dijual untuk modal awal Mangle,” tutur Oedjang.

Lantas, mengapa nama Mangle yang dipilih?

Oedjang bercerita, ada dua alternatif nama, pertama Tandang, kedua Mangle. Akhirnya disepakati nama Mangle yang diambil karena Tandang terkesan mengajak berkelahi.

Mangle sendiri berarti bunga yang harum. Dalam perkembangannya, Mangle diartikansebagai hiasan sanggul wanita dan keris pada upacara pernikahan. Diharapkan, kelak majalah mangle bisa seindah dan seharum namanya.

Kelahiran Mangle tak lepas dari kepedulian para pendirinya terhadap kebudayaan Sunda. Selama setengah abad lebih, “Ideologi” Mangle tak pernah berubah, yakni  melestarikan kebudayaan Sunda. Secara eksplisit, Visi Mangle adalah menjadi kebanggaan orang Sunda seumur hidup (jadi kareueus satangtung hirup).

Sementara misinya adalah menjaga, memelihara basa, sastra dan filosofi Ki Sunda ; menjadi media komunikasi orang-orang Sunda sampai akhir zaman ;  menjaga dan melestarikan budaya Sunda dengan berbagai kalangan etnis lainnya ;  Profit orientied yang seimbang, antara rasa memiliki terhadap Sunda dengan tarah hidup pada masanya.

[caption id="attachment_120778" align="alignleft" width="300" caption="Edisi Perdana Majalah Mangle"]

1309861310956295654
1309861310956295654
[/caption]

***

Awalnya Mangle hanya terbit bulanan dengan isi berjumlah 20 halaman dan tirasnya 500 eksemplar. Edisi mangle di awal-awal kelahirannya tampak tidak bermutu. Ilustrasi foto tidak ada kaitannya dengan berita karena hanya foto-foto yang ada dipercatakan yang dimuat. Selain itu, naskahnya pun, naskah seadanya.

Untuk memperluas pemasaran, Mange pindah ke Bandung pada 1962 dan berkantor di Jalan Buah Batu No. 43. Alasan “Hijrah” ini sangat logis, jika hendak melihat Sunda, tengoklah Bandung karena kota ini adalah pusat pemerintahan, sekaligus pusat budaya yang kaya akan nilai-nilai historis. Walhasil, oplah mangle meroket, dari 500 eksemplar menjadi 70 ribu eksemplar.

Tahun 1971, Mangle pindah ke kantor baru di Jalan Lodaya No 19 dan hingga sekarang Mangle tetap berkantor di sana. Makin hari makin terasa, kualitas majalah tidak hanya ditentukan isi, tapi juga tampilan dan perwajahan atau layout. untuk itu ,Mangle berkeinginan untuk memiliki mesin cetak sendiri dan pada 1980 keinginan itu tercapai.

[caption id="attachment_120779" align="alignleft" width="300" caption="Salam Redaksi edisi perdana"]

1309861354887525819
1309861354887525819
[/caption]

Konten Mangle tetap menampilkan hiburan. Namun, hiburan di sini tetap tak bisa lepas dariatikan atau pendidikan. Rubrik-rubrik yang menjadi perimadona dalah cerita pendek, cerita bersambung, cerita komedi dan cerita misteri. Untuk saat ini, ada rubrik khutbah jumat dan Tanya jawab seputar masalah agama Islam. Untuk mengikat generasi muda, Mangle mengeluarkan Mangle remaja dan Manglealit.

Jika dilihat proporsi pemberitaan, rubrik hiburan dan human interest mendapat porsi yang paling besar, yakni 55%. Sementara sejarah dan budaya, agama dan pendidikan, besarnya seimbang, 20%. Sisanya berisi informative news dan lain-lain.

Kejayaan Mangle di era 1960-an yang mana pernah mencapai tiras sebanyak 90 ribu, kini mungkin hanya tinggal kenangan. Setelah Indonesia dihantam krisis moneter, tiras Mangle perlahan tapi pasti mengalami terjun bebas. Oplah Mangle kini tinggal 4000 ribu eksemplar saja.

Arus reformasi yang diharapkan banyak pihak akan membawa banyak perubahan, ternyata memang terjadi dalam konteks Mangle. Oplah Mangle turun drastis ketika Gusdur membubarkan Departemen Penerangan,salah satu pelanggan Mangle yang loyal.

***

Sebetulnya, Mangle tidaklah sendirian dalam mengusung pelestarian budaya Sunda khususnya bahasa Sunsa. Mediamassa lain yang bergerak di ranah yang sama dengan Mangle adalah Kujang, Sunda Midang, Cupumanik, Galura, Giwangkara. Namun, dari media-media tersebut, hanya Mangle yang masih bertahan. Meski tujuannya sama, persaingan tetap ada. “Persaingan ini  untuk memotivasi kita supaya tambah bagus dalam berkarya,” tutur Oedjang.

Oedjang mengungkapkan, media daerah tidak menjanjikan secara bisnis. Ini terbukti dari kolapsnya beberapa media daerah. Yang masih eksis pun, seperti hidup segan mati tak mau, mengambang. Kujang misalnya, umurnya lebih tua dari Mangle, sudah lama kolaps. Kemudian ada investor baru,  Uu Rukmana (Fungsionaris DPD Golkar Jabar) dihidupkan lagi dengan nama Koran Sunda, tapi, lagi-lagi Kolaps. Galura, meskipun masih terbit, tetap terseok-seok.Giwangkara, tempo-tempo terbit tempo-tempo tidak. Adapun Cupumanik, sudah beralih pengelolaan dari Ajip Rosidi ke tangan Ganjar Kurnia (Rektor Universitas Padjadjaran).

Media daerah memang tidak menjanjikan secara bisnis. Menurut Oedjang, banyak penulis bahasa daerah lari ke media nasional. “Mangle paling cuman bisa gaji penulis 1 - 1,5 juta per bulan” tutunya pedih. Selain itu, iklan juga tidak banyak, sementara untuk produksi cetak tetap dengan harga yang sama. Terlebih, Mangle sendiri formatnya majalah sehingga terpaksa memakai art paper untuk cover. Isinya juga terpaksa kita pake sebagain Koran sebagaian HVS.

[caption id="attachment_120780" align="alignleft" width="300" caption="Oedjang Daradjatoen, Pemimpin Umum sekaligus Pemimpin Redaksi Majalah Mangle"]

13098614361012862557
13098614361012862557
[/caption]

Hal ini memang ironis, pasalnya, pangsa pasar media daerah sangat besar. Jumlah orang Sunda di Jawa Barat diperkirakan mencapai 40 juta orang. Tapi tetap, media daerah tidak menjanjikan secara bisnis. Oedjang menuturkan, eksesnya, karena tidak menjanjikan tadi, lulusan sastra sunda dari Unpad atau Universitas Pendidikan Indonesia juga enggan jadi penulis bahasa daerah. “Mereka lebih memilih menjadi guru ketimbang reporter Mangle,” ujarnya dengan nada prihatin.

Meskipun begitu, dukungan baik moril maupun materiil masih ada meski tidak terlalu signifikan. Oedjang mencontohkan, wartawan Mangle ada yang mendapat insentif sebesar 1 juta per bulan dari para donator. Ia menyebutkan, beberapa diantaranya adalah Uu Rukmana, fungsionaris DPD Golkar Jawa Barat.

Oedjang sendiri menduga, Mangle masih bisa bertahan selama setengah abad lebih, sementara yang lain kolaps, disebabkan adanya fanatisme pembaca Mangle sendiri. Ia hanya bisa bersyukur terhadap itu karena ia berkeyakinan, tak ada yang lepas dari campur tangan Tuhan.

***

Tak bisa dinafikan bahwa bahasa daerah, termasuk bahasa Sunda mulai dipinggirkan oleh penuturnya sendiri. Oedjang sendiri mengaku prihatin terhadap kondisi ini. Ia melontarkan sebuah anekdot perihal ini, “Sekarang kan ada Kampung Dongsih, gimana dong,apa sih,” ujarnya sambil tertawa. Anekdot itu adalah potret sebuah kampung yang mana masyarakatnya sudah “nyaman” memakai bahasa “Jakarta” seperti gue, lo, dan sebagainya meskipun secara etnis mereka Sunda.

Banyak hal yang menyebabkan bahasa Sunda termarjinalkan. Oedjang menilai, selain tidak dijadikan bahasa pengantar di pendidikan formal, ada kesan, bahasa Sunda itu lebih sulit ketimbang bahasa Inggris. Menurut PBB, Oedjang menambahkan, dari 6000 bahasa etnis yang ada pada tahun 2000 lalu, sekarang yang masih eksis tinggal 3000 bahasa.

Oedjang menepis anggapan bahwa bahasa Sunda itu rumit karena ada tingkatan bahasa, kasar, sedang, dan halus. Ia merujuk pada pendapat budayawan Ajip Rosidi, yang menyatakan, tingkatan bahasa dalam bahasa Sunda adalah pengaruh Jawa. “Tidak masalah pake bahasa kasar juga, yang penting bernai ngomong basa Sunda,” tegasnya.

Menurutnya, generasi muda Sunda harus berani berbahasa Sunda sebagai identitas diri. karena siapa lagi yang akan menggunakan basa Sunda selain orang Sunda itu sendiri. Orang Sunda, lanjutnya, harus bangga terhadap etnisnya sendiri karena ia melihat rasa bangga itu tidak tampak.

***

Bahasa Sunda, tidaklah sendirian dalam fenomena arus degdradasi bahasa daerah. Bahasa Cirebon dan Betawi pun mengalami hal yang sama. Untuk itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat meminta Mangle untuk menjadi sosialitator bahasa daerah yang ada di Jawa Barat. Pemprov akan memberikan sejumlah kompensasi kepada Mangle untuk menjalankan program tersebut.

Kompensasi itu antara lain, dana untuk biaya cetak, perangkat keras, perangkat lunak, dan juga penerjemah. Pasalnya,di Mangle tidak ada yang bisa berbahasa Cirebon atau Betawi. Dana yang didapat Mangle berkisar 35 Juta, sementara Mangle sendiri mengajukan 200 juta.

Tawaran ini juga sempat menimbulkan perdebatan di jajaran redaksi. Namun, akhirnya, tawaranini diterima karena dengan asumsi, bahasa daerah mau tidak mau harus bermitra dengan pemerintah. Menurut rencana, Mangle edisi Cirebon dan Betawi akan terbit pada awal Juli 2009.

Untuk edisi awal, Mangle akan menambahkan suplemen 8 halaman berbahasa Cirebon dan Betawi. Tapi peredaran Mangle edisi khusus itu terbatas hanya di daerah yang menjadi “sarang” bahasa tersebut. Untuk edisi Cirebon akan diedarkan di Kawasan Pantura sedangkan edisi Betawi disebar di Bekasi. Masing-masing edisi itu rencananya akan dicetak seribu eksemplar.

Oedjang mengaku enggan mengedarkan edisi khusus itu di kawasan “organik” sirkulasi Mangle. Pasalnya, bahasa-bahasa itu punya penuturnya sendiri. Ia juga khawatir, prestise Mangle akan turun di mata orang-orang yang fanatik dengan bahasa Sunda jika diedarkan ke daerah yang memakai bahasa Sunda.

Rencana Mangle menerbitkan edisi khusus dengan tambahan suplemen berbahasa Cirebon dan Betawi tak berjalan mulus. “Di Cirebon bagus, kalo yang Betawi mandek karena gak ada penanggung jawabnya,” terang Oedjang. Di Cirebon, ia melanjutkan, sudah ada Balai Bahasa Cirebon sehingga sumber daya manusia yang mengelola suplemen edisi khusus itu memadai. Jumlah eksemplar yang dicetak pun hanya 500, separuh dari rencana awal.

November 2009

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun