Mohon tunggu...
Budi Septiawan
Budi Septiawan Mohon Tunggu... Dosen - Menulis adalah pesan bagi generasi mendatang jika kita sudah mati. Pesan bahwa kita pernah hidup dan berkontribusi pada kehidupan

Penulis adalah Dosen Tetap Program Studi Akuntansi Universitas Pasundan Bandung

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

AS Roma, Tim Ibukota Italia yang Kehilangan Identitasnya

9 Februari 2021   12:00 Diperbarui: 28 Juni 2021   06:02 746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seketika saya tertunduk lesu kecewa, usai menonton pertandingan Liga Italia Serie-A (7 Februari 2021) yang menyuguhkan pertandingan antara Juventus melawan AS Roma yang notabene adalah klub favorit saya. Bagaimana tidak kecewa, perjuangan kami Romanisti di Indonesia untuk begadang menonton tim tercinta, terasa sia-sia, karena tim kami kalah 2-0 melalu gol yang dicetak oleh Megabintang Juventus Cristiano Ronaldo dan satu sumbangan gol bunuh diri pemain belakang Roma, Roger Ibanez. Sebenarnya hasil ini sudah saya prediksi sebelumnya, tapi tetap saja rasa kecewa sebagai tifosi sejati sejak SD tidak bisa dihindari, saya bahkan berkelakar di grup komunitas Romanisti bahwa Ronaldo akan mencetak gol ke gawang Roma 2 kali, benar saja dan hampir tidak meleset prediksi saya, mengingat gol bunuh diri Ibanez mungkin akan menjadi milik CR7 juga jika tidak sempat terhalau. Prediksi saya sangat beralasan, CR7 semenjak di Manchester United, lalu Real Madrid dan sekarang Juventus tidak pernah absen menjebol gawang AS Roma. Total sudah 10 gol dilesakkan ke gawang Roma (update s/d 8/2/2021 via : https://www.messivsronaldo.app/all-time-stats/favourite-opponents/), dan Roma menjadi tim teratas dari Liga Italia yang sering dijebol oleh Sang Record Breaker, sejajar dengan timnya sekarang yakni Juventus, fakta yang cukup unik.  

Kehebatan CR7 sebagai seorang Record Breaker tidak perlu diragukan lagi, tanpa mengurangi rasa hormat. Saya sebagai Romanisti mungkin akan berkata sebelum pertandingan tersebut, silahkan bobol gawang Roma dengan tenang bang naldo !. Sebagai fakta tambahan Roma merupakan salah satu tim dengan pertahanan terlemah di Serie-A musim ini, dari 20 tim Serie-A, Roma berada di posisi ke-7 tim yang paling sering dibobol lawan yakni 35 kebobolan sejauh ini (sampai giornata 21). Ditambah CR7 merupakan Topskor Serie-A sejauh ini dengan 16 gol (sampai giornata 21), fakta-fakta dan korelasi yang terlihat jelas bukan ? 

Dengan fakta-fakta diatas muncul hipotesis saya bahwa titik terlemah AS Roma musim ini adalah pertahanan yang sangat rapuh, Bagi saya sebagai penikmat Serie-A sejak lama, pertahanan yang baik merupakan modal utama tim di Italia jika ingin meraih prestasi. Lihat saja Juventus yang baru kebobolan 18 gol sejauh ini (sampai giornata 21) di Serie-A, dan itu yang terbaik. Saya begitu iri memang jika melihat Juventus yang mempunyai master-master Catenaccio di diri Giorgio Chiellini dan Leandro Bonucci, mereka begitu fasih mengawal lini belakang yang solid dan sulit ditembus. Mengapa lini belakang Roma begitu rapuh ? Saya melihatnya dari sisi krisis kepemimpinan !

Sumber Gambar : (https://www.wallpaperflare.com/francesco-totti-alessandro-florenzi-as-roma-asr-captain-wallpaper-yhnci)

Kepergian Kostas Manolas yang pindah ke Napoli musim lalu menyisakkan lubang kepemimpinan di lini belakang Roma. Roma kehilangan sosok spartan dan selalu bergairah dalam mengawal lini belakang. Manolas selalu berteriak memberikan komando atau meminta lebih kepada rekan timnya, terakhir yang paling jelas adalah gol ke gawang Barcelona saat 8 besar Liga Champions 2018, dimana luapan emosi, teriakan dan passion yang begitu berapi-api terlihat dari ekspresi pemain Yunani itu, usai memastikan gol penentu kelolosan Roma ke semifinal untuk pertama kalinya di format baru Liga Champions. Ya passion dan gairah serta determinasi tinggi seperti itu sudah tidak ada lagi di Roma musim ini ! 

Flashback beberapa periode kebelakang, lini belakang AS Roma tidak pernah kehilangan komandan. Sebelumnya ada sosok Aldair yang siap mengawal lini belakang Roma bak anjing penjaga, kemudian ada Walter Samuel "The Wall" yang mempersembahkan 1 scudetto buat Roma, ada juga Christian Chivu yang tidak kikuk dalam memberikan instruksi kepada teman satu tim, mengingat dia adalah kapten di timnas Rumania saat itu. Saat ini Roma tidak punya jiwa leadership di lini belakang, lini belakang Roma saat ini diisi mayoritas pemain muda penuh talenta, namun sayangnya jiwa kepemimpinan mereka belum tampak kentara bagi tim. Sebut saja Gianluca Mancini (24 tahun), Roger Ibanez (22 tahun), Max Kumbulla (21 tahun), sebenarnya Chris Smalling (31 tahun) bisa menjadi leader disini, satu kelemahan Smalling adalah komunikasi yang masih terbatas, Smalling belum bisa secara fasih berbahasa Italia, terakhir dia baru bisa menjawab Interview bahasa Italia dengan Bahasa Inggris, ya masih pasif. Komunikasi menjadi modal bagi seorang leader, karena dengan komunikasi yang jelas dan terarah, rekan satu tim dapat bergerak sesuai yang diminta. Komunikasi juga yang menjadi vital bagi sektor Goalkeeper, saat ini penjawa gawang Roma diisi oleh Pau Lopez (26 tahun) dan Antonio Mirante (37 tahun). Secara pengalaman Mirante terdepan, dan itulah kenapa di awal-awal musim Mirante sempat menjadi kiper utama, Mirante lebih berpengalaman, gaya komunikasi cukup baik, dan terlihat sering memberikan komando kepada lini belakang, sayangnya sampai saat ini Mirante masih dibekap cidera. Menilik sedikit kepada Pau Lopez, kiper ketiga timnas Spanyol ini bertubuh cukup kurus tinggi, secara postur ini kurang bisa mengintimidasi lawan, bayangkan Oliver Kahn, lawan pasti agak ngeri buat berhadapan dengan Oliver Kahn. Sebetulnya postur bisa jadi tidak terlalu masalah, karena Pau Lopez juga terbukti beberapa kali melakukan penyelamatan gemilang, yang kurang apa ? ya ! komunikasi. Saya pribadi yang hampir setiap pekan melihat pertandingan AS Roma, jarang sekali melihat Pau Lopez marah pada bek di depannya jika ada kesalahan, atau sekedar berinstruksi, atau mungkin men-direct lini belakang, sesekali Pau Lopez hanya memberikan arahan jika ada tendangan bebas saja. Praktis salah satu kelebihan Pau Lopez menurut amatan saya adalah long pass yang cukup akurat , hal ini sangat berguna di sepakbola modern yang dimana seorang kiper harus menjadi orang pertama dalam memulai serangan tim. Tapi itu saja tidak cukup, Roma memerlukan leader di lini belakang, ini krisis Roma saat ini !  

Statistik yang terjadi di pertandingan Juventus kontra AS Roma pun cukup miris bagi kubu Roma, dengan 3 shots, 2 shots on goal, 2 counter attack Juventus mampu menghasilkan 2 gol. Artinya serangan Juventus cukup efektif bukan ? atau lini belakang Roma yang keropos ? Melihat statistik Roma dengan gaya possession nya mampu menghasilkan 14 total shots, 3 shots on goal, 31 percobaan crossing dan 9 corners kick, Alhamdulillah tak menghasilkan sebiji gol pun berhasil disarangkan ke gawang Juventus, berkat para pakar catenaccio yang baru mengijinkan 8 gol masuk ke gawang mereka di pertandingan kandang mereka. Mundur lagi kebelakang di pertandingan Roma vs Spezia, dimana lini belakang Roma memberikan 3 gol bagi 3 shots on goal Spezia, kemudian lawan Lazio, Roma membiarkan 3 gol masuk hanya dengan 39% possession milik Lazio berbanding 61% milik Roma. So fragile bro ! 

Disisi lainnya ternyata masih ada sisi membanggakan bagi I Lupi, Roma saat ini berada di posisi puncak klasemen jika dilihat dari sisi pertandingan Home saja, koleksi 27 poin berhasil menungguli Inter Milan di posisi kedua dengan 25 poin Home. Prestasi dari segi mencetak gol pun tidak kalah mentereng di musim ini, Roma berhasil menyarangkan 44 gol ke gawang lawan dan bertengger di posisi 5 besar dalam hal ini (sampai giornata 21). Fakta yang memang agak kontras, lini depan cukup tajam, lini belakang rapuh, mengutip data statistik dari (https://footystats.org/clubs/as-roma-113#, 09/02/2021) rasio mencetak gol roma yaitu 2,1 per game dan masuk kategori Good, tapi urusan kebobolan tidak sejalan, Roma memiliki rasio poor dengan kebobolan rata-rata 1,67 per game. Dengan data fakta yang tersaji, ada kesimpulan sederhana saya bahwa filosofi Roma dibawah asuhan Paulo Fonseca adalah "tidak masalah kebobolan banyak gol, selama kita mampu mencetak gol lebih banyak" filosofi yang menarik namun sayangnya tidak berdampak pada tim Magnificent Siete Serie-A yang terdiri dari Juventus, AC Milan, Lazio, Inter Milan, Atalanta dan Napoli, Roma dipaksa babak belur dari tim-tim papan atas tersebut dengan hanya meraih 3 poin saja dari maksimal 21 poin ! Kebobolan 20 gol dari 7 pertandingan antar tim papan atas (sampai giornata 21), betapa inferior nya Roma. Pertanyaan tentu akan menyeruak ke permukaan ? Sejauh manakah Roma akan bersaing di Serie-A musim ini ? Mampukah Roma finish di posisi UCL di akhir musim ? seperti apa yang Fonseca sempat targetkan di awal musim. 

Berdasarkan amatan saya, kelemahan Roma yakni lini belakang tanpa leadership juga kememblean Roma atas tim-tim papan atas Serie-A. Perlu ada solusi serius untuk mengatasi masalah ini, saya tidak akan berbicara solusi jangka pendek sampai musim berakhir, saya rasa Roma perlu solusi jangka panjang. Apa itu ? AS Roma butuh the real "Il Capitano", pensiunnya Francesco Totti dan Danielle De Rossi seakan salah satu pertanda runtuhnya Kekaisaran AS Roma, diperkeruh dengan perginya sang penerus estafet di dalam diri Alessandro Florenzi yang dipinjamkan sana sini, dengan dalih ketidakcocokan dengan skema Paulo Fonseca. Padahal leadership di diri Florenzi sudah mulai dipupuk di era kepelatihan sebelumnya, dimana sesekali Florenzi mengenakan ban kapten ketika Totti dan De Rossi masih ada. Solusinya adalah kembalikan il capitano della Roma, kembalikan Alessandro Florenzi, karena AS Roma sejak dulu selalu dicirikan memiliki ikon club yang setia, mulai dari Bruno Conti, Giuseppe Gianinni, Francesco Totti, sampai Danielle De Rossi, dan kini ikon itu sudah tidak ada lagi di tubuh Roma. Saya rasa terlalu dini untuk membentuk Lorenzo Pellegrini menjadi Kaisar di Roma, Pellegrini baru bergabung kembali di Roma pada musim 2017/2018 setelah sebelumnya "bersekolah" di Sassuolo selama hampir 3 musim. Maka solusi mengembalikan Florenzi ke Roma adalah yang terbaik saat ini, ditambah Florenzi kerap beroperasi di lini belakang yang saat ini memang titik terlemah AS Roma. Berbicara tentang Florenzi, seketika saya teringat ketika musim 2014/2015 di Europa League Roma dibantai 0-3 oleh tim sesama Italia yaitu Fiorentina, saat itu Roma tersingkir dari 16 besar dan itu memperparah beberapa hasil buruk yang sebelumnya dirasakan juga. Florenzi , Totti dan De Rossi yang kala itu masih ada, juga beberapa pemain lainnya menghampiri para tifosi dan curva sud, seusai pertandingan tersebut. Para Romanisti marah dan kecewa dengan cara menghujani botol minuman ke arah lapangan, melihat hal tersebut Florenzi yang salah satu terdepan saat itu mencoba menghampiri para Romanisti di stadion dan berdialog dari hati ke hati dengan mereka, salah satu sikap pemimpin yang sangat kharismatik. Satu hal lagi, kontrak Florenzi di Roma berakhir sampai 2023 dimana saat contract renewal di 2018, Florenzi begitu girang dan semangat karena bisa terus berseragam Giallorossi, artinya jiwa gladiator Roma masih ada di diri Florenzi saat ini, walaupun dia sedang bermain untuk PSG saat ini, saya berharap Flo akan berseragam Roma lagi di musim depan. I believe, Florenzi loves Rome and Rome loves Florenzi too. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun