Mewajibkan periset mengurus ijin, sama artinya dengan menghayati dan mengamalkan ajaran/ideologi yang sudah kedaluarsa. Pada masa pemerintahan otoriter orde baru, ijin riset diajdikan intrumen pengendalian politik. Maksdunya, riset yang tidak sejalan dengan agenda politik ijinnya tidak diberikan.
Setelah reformasi 1998, orde atau pemerintahan otoriter ditumbangkan dan diganti dengan pemerintahan demokrasi. Salah satu prinsip demokrasi adalah adanya penjaminan hak berpendapat, bahkan jika pendapat itu berseberangan dengan agenda pemerintah atau oposisi, mestinya ijin riset dapat ditiadakan.
Namun, rupanya reformasi tidak menyentuh instrumen pengendalian politik, yang berwujud ijin penelitian. Jika dibuat periode, saya bersentuhan dengan empat jaman pengurusan ijin penelitian. Pertama, sebagai mahasiswa yang mengurus ijin riset skripsi, sebagai dosen pembimbing skripsi, sebagai pembantu dekan bidang akademik, bertugas di kantor sospol, terakhir di Bappeda pemeberi rekomendasi ijin riset.
Data dinding berijin
Mencermati data yang terpampang di dinding ruang tunggu atau area public, harus meminta ijin adalah pengalaman unik. Tempat dan waktu kejadian di kecamatan di kota ibukota provinsi, tahun 1985-an.
Sejatinya data yang dipajang di dinding kecamatan bertujuan memberikan informasi penting dan memudahkan akses informasi. Dalam data dinding tercakup: Informasi Pelayanan Publik (Jadwal dan Prosedur Layanan); Informasi Program dan Kegiatan (Pemerintah dan Sosial); Pengumuman dan Pemberitahua; Petunjuk arah dan Peta Lokasi; serta Data Demografis.
Data Demografis antara lain tentang jumlah penduduk di kecamatan, termasuk pembagian berdasarkan usia, jenis kelamin, dan desa atau kelurahan. Serta tentang status kesehatan masyarakat, seperti angka kelahiran, angka kematian, dan penyakit yang umum terjadi.
Data yang dipajang di dinding kecamatan bertujuan untuk meningkatkan transparansi, memberikan informasi yang mudah diakses, dan membantu warga dalam mengurus berbagai keperluan administrasi. Sehingga, kewajiban memintan ijin mencermati data dinding kontradiksi dengan tujuannya.
Kejadian yang tidak dapat diterima nalar, atau sesat nalar yang ekstrim. Nitizen menyebut sesat nalar yang ekstrim sebagai sulit diterima nurul. Bentuk katanya mengikuti tradisi Jawa, dalam menyebut merah sebagai abang dan untuk merah maron : abiing. Jadi nurul bentuk superlative nalar.
Kejadianya, saat menunggu antrian menghadap pejabat kecamatan untuk mendapatkan data terkait kondisi umum wilayah. Duduk celingak celinguk terlihat ada data yang dibutuhkan terpampang di dinding. Data disalin dicatat, ada yang kurang terang berusahan berdiri mendekat. Ada pejabat kecamatan mendekat, dan berkata singkat. “Mas, kalau mengambil data harus ijin”.