Mohon tunggu...
Dina Sulistyaningtias
Dina Sulistyaningtias Mohon Tunggu... karyawan swasta -

mom of two, Roker KRL Bogor-Jakarta, blogwalker, oknum @KoplakYoBand bergelar bu kepsek (tanpa nomor punggung 1)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Antara Cinta dan Benci, Sebuah Pemahaman

15 Juni 2012   06:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:58 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“Janganlah mencintai sesuatu dengan berlebihan…bisa jadi kamu akan membencinya di kemudian hari. Dan bencilah sesuatu dengan sewajarnya..bukan tidak mungkin esok hari kamu akan mencintainya”

Pernah mendengar kalimat seperti di atas kan?

Dulu saya tak pernah mengerti dengan kalimat tersebut. Jelas sekali bahwa kata “cinta” dan “benci” adalah dua kata yang saling berlawanan. Mana mungkin cinta jadi benci atau benci jadi cinta. Hil yang mustahal, begitu kata Asmuni.

Bagi saya saat itu, kesan pertama terhadap hal apapun akan selalu terekam dalam otak dan hati. Bila kesan pertama sudah suka, ya pasti suka untuk seterusnya. Paling banter kesukaan itu meredup dan menjadi “biasa saja”, tetapi tak akan pernah menjadi “tidak suka”  Begitu pula sebaliknya.

@@@

Ternyata apa yang saya pikirkan selama ini tak sepenuhnya benar. Dalam perjalanan waktu, prinsip yang saya pegang teguh tersebut menjadi hancur berantakan dalam beberapa hal.

Ambil contoh paling sederhana. Dari kecil saya anti dengan yang namanya buah alpukat. Meskipun ibu dan kakak saya suka membuat jus alpukat dan saya sering ditawari, tak sedikitpun saya tertarik untuk mencobanya. Boro-boro mencobanya, bau nya yang saat itu saya anggap seperti kotoran hewan membuat saya enggan meliriknya.

Saya lupa dari kapan awalnya, yang jelas saya tertarik untuk mencobanya dalam bentuk jus. Kebetulan sekali saat itu jus yang saya cicipi itu (kata orang) memang enak. Alpukatnya kental dan susu coklatnya terasa sekali. Pada awalnya aneh, tapi beberapa kali mencicipinya membuat saya ketagihan. Sekarang saya bisa mengklaim bahwa buah alpukat adalah buah favorit saya.

Yang kedua adalah sosok bernama Jose Mourinho. Pelatih bola asal Portugal yang menyebut dirinya “The Special One” ini memang sangat kontroversial. Saya mengenal namanya waktu melatih Chelsea sekitar tahun 2004 – 2005. Cara dia perang syaraf ke lawannya saat jelang pertandingan, bila diistilahkan dalam kampanye politik, bisa disebut sebagai “Black Campaign”. Ada saja ulahnya untuk menurunkan mental baik pelatih maupun pemain lawan dengan cara berkoar di media. Caranya yang licik adalah modal saya untuk membencinya.

Meskipun prestasinya di Chelsea tak bisa dianggap sebelah mata, saya tetap tak bersimpati padanya. Setelah berpindah ke Inter Milan, lambat laun saya mulai mengamati sepak terjangnya. Dan benar saja, ketika treble winners disandang klub asal Itali tersebut, pikiran saya mulai terbuka. Pelatih satu ini bukan orang sembarangan. Meskipun tak bisa dibilang fans beratnya, kebencian saya memudar perlahan-lahan padanya.

@@@

Seperti yang saya tulis di awal, kesan pertama adalah apa yang menancap di otak kita. Dengan demikian, bila mendengar kata yang menyangkut hal tersebut, kita seperti digiring oleh system otak untuk berpikir seperti kesan pertama.

Mengenai pengalaman saya di atas, kebetulan tema-nya sama : dari “tidak suka” menjadi “suka”.  Otak mungkin bisa berkata bahwa Mourinho itu manusia menyebalkan. Saking menyebalkannya, jadilah saya seperti orang penasaran. Sedikit-sedikit mencari info terlebih tentang segala kekurangannya, hanya untuk meyakinkan diri bahwa dia itu tak pantas untuk disuka. Akibatnya, saya menaruh perhatian khusus pada hal-hal yang saya tak sukai tersebut. Di luar kontrol kesadaran, saya menjadikan “Mou” itu menjadi “penting”.

Bagaimana sebaliknya? Rasa suka yang berlebihan memang mengabaikan segalanya. Positif melulu. Semuanya serba oke. Akibatnya, bila yang tak diharapkan terpampang depan mata, bukan lagi rasa yang “biasa”. Benci yang timbul adalah karena diri kita tak pernah terima bahwa segala hal bisa memiliki kekurangan.

@@@

Cinta dan Benci. Suka dan tidak suka. Positif dan negatif. Semuanya bertolak belakang, tetapi ternyata semua saling berhubungan, hampir tak ada tembok pembatas..

“Satu-satunya kepastian di dunia ini adalah ketidak pastian itu sendiri”.

Tak ada kebenaran yang hakiki.

@@@

Udah ah, psikolog bukan, motivator apalagi, tulisannya sok tau begini.

Budina

Backsound : Antara Benci dan Rindu (Ratih Purwasih)



Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun