Mohon tunggu...
Budiman Tanjung
Budiman Tanjung Mohon Tunggu... -

Seorang advokat

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Saatnya Jokowi Wujudkan Ekonomi Pro-Rakyat

11 Oktober 2014   01:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:32 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang kawan bercertita pengalaman seaktu membeli rumah pertama di kawasan sunter (jakarta) di tahun 1996 dengan harga 150 juta rupiah.  Tahun lalu (2013), rumah dua lantai seluas 90 m2 itu dijual kawan tersebut dengan harga Rp 1,5 Milliar. Berarti 10 kali dari harga beli selama kurun waktu sekitar 17 tahun.

Saya teringat di tahun 1983, kurs SGD 1 sekitar 300 rupiah. Harga satu rumah susun (apartment) bersubsidi pemerintah (Housing Development Board, yang hanya diperuntukan untuk penduduk Singapura) berkamar tiga adalah SGD 50,000 atau sekitar Rp 15 juta rupiah setara dengan harga dua (2) unit Toyota Land Cruiser (type Hardtop Troopy) yang dibandrol sekitar Rp 7,5 juta satu unit. Harga Toyota Land Cruiser sekarang dengan type sama (Troopy Carrier) dibandrol sekitar Rp 750 juta (sekitar 100 kali lipat dibandingkan tahun 1983). Sedangkan HDB berkamar tiga di Singapura sekarang dapat terjual dengan harga SGD 500,000 (sekitar 10 kali lipat dibandingkan tahun 1983).

Dari dua contoh perbandingan di atas, harga property di Indonesia menjadi 10 kali hanya dalam 17 tahun sementara di Singapura membutuhkan waktu 30 tahun. Namun, ini suatu penilaian semu karena tidak membandingkan dengan daya beli masyarakat. Dengan penghasilan seorang sarjana yang baru lulus sekitar 3 juta sebulan, berarti harga rumah menjadi 500 kali penghasilan sebulan (Rp 1,5 Milliar). Semakin sulit saja harapan untuk mencicil rumah di Jakarta. Padahal di tahun 1996, dengan penghasilan seorang sarjana yang baru lulus sekitar 1 juta sebulan, berarti harga rumah adalah 150 kali penghasilan sebulan (Rp 150 juta)

Mata uang kita (Rupiah) hanya mengenal devaluasi (penurunan nilai), dari USD 1 = Rp 600 di tahun 1983 menjadi USD 1 = Rp 12.o00 sekarang (berarti merosot 20 kali lipat atau 2.000%). Sementara mata uang Singapura mengalami revaluasi (kenaikan nilai) dari USD 1 = SGD 2.11 di tahun 1983 menjadi USD 1 = SGD 1.25 sekarang (berarti SGD menjadi lebih mahal hampir setengahnya dibandingkan tahun 1983).

Jadi pada tahun 1983 seorang Indonesia (yang merupakan penduduk tetap Singapura) mempunyai Rp 15 juta rupiah, maka bisa mendapatkan satu apartment HDB di Singapura seharga SGD 50,000 (kurs SGD 1 = Rp 300). Saat ini (20 tahun kemudian), apartment itu telah seharga SGD 500,000. Jika dirupiahkan, uang sejumlah Rp 4,8M itu dapat membeli sedikitnya 6 Toyota Land Cruiser (type Troopy Carrier). Padahal uang Rp 15 juta hanya dapat membeli 2 unit Toyota Land Cruiser (Hardtop Troopy) di tahun 1983.

Artinya, daya beli masyarakat Indonesia melemah sementara daya beli masyarakat Singapura meningkat. Karena pertumbuhan ekonomi yang relatif baik (sekitar 7% setahun) kecuali pada masa krisis ekonomi 1997 - 2000, di Indonesia itu tidak diimbangi oleh ekonomi yang Pro-Rakyat sementara Rupiah hanya mengenai "Devaluasi". Jika seorang sarjana yang baru lulus saja (dengan penghasilan 3 juta saat ini) hanya bisa mimpi untuk mencicil rumah (dari 150 kali penghasilan per bulan menjadi 500 kali penghasilan per bulan), bagaimana dengan rakyat kebanyakan ?

Inilah saatnya Jokowi mewujudkan Ekonomi Pro-Rakyat. Juga apakah mungkin Rupiah mengalami revaluasi, dari kurs 12.000 (saat Jokowi mulai menjabat) lalu menguat, menguat, dan menguat ? Semoga.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun