Mohon tunggu...
Budi Ardian Saputra
Budi Ardian Saputra Mohon Tunggu... Berdagang -

Penulis tidak naik kelas.E-mail: saputrabudiardian@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sulitnya Menembus Pascasarjana Dalam Negeri

5 Januari 2017   11:34 Diperbarui: 6 Januari 2017   00:47 3554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Saya hanya ingin menyampaikan “setonggok” kegaduhan. Bicara mengenai kehidupan akademik bangsa ini memang beragam, mulai dari Menghadapi dosen killer, kurangnya referensi, masuk sulit, lulus tidak gampang, uang SPP Mahal, Sulitnya bimbingan karya tulis yang terus membelenggu dan Ijazah yang tak terserap dunia kerja. Hadeuh!

Kemarin (30/12/2016), sebuah group Telegram saya ramai ciutan-ciutan. Pembahasannya mengenai “Kejutan” dari salah satu Universias Negeri di Bandung. Celoteh teman-teman mengenai kenapa yang diterima masuk di jenjang paska sarjana sangat sedikit sekali. Saya hanya tarik nafas, karena saya adalah salah satu yang tidak LULUS. Tapi tidak apa-apa, masih bisa daftar lagi.

Tapi ada yang perlu di stabilo hijau (disayangkan). Belum kering ludah di mulut membahas tentang MEA dan globalisasi, tantangan yang dihadapi tentunya masalah kualitas SDM Indonesia. Ditambah lagi visi pemerintah yang menargetkan jumlah lulusan S2 dan S3 menjadi tujuh kali lipat pada 2025. Optimis pak?..... (sumber)

Nah, kedepanya tentu implementasi itu semua harus di imbangin dengan kesiapan-kesiapan Universitas Dalam Negeri. Boleh jadi sedikitnya lulusan magister yang hanya berjumlah 2.300, bukan karena sedikit minat belajar masyarakatnya. Melainkan bisa jadi ini semacam belenggu sulitnya menembus PTN.

Sehingga komentar-komentar di lapangan pun sering terdengar bahwa mendaftar jenjang pascasarjana lebih gampang di luar negeri. Tantangannya hanya menyiapkan skor IELTS dan TOEFL iBT. Semuanya melalui jalur online. Belum lagi kualitas pembelajaran disana jauh lebih menyenangkan. Interaksi dengan dosen-dosen yang bersifat easy going.

Tak heran kalau pak Wali Kota Ridwan Kamil alumni lulusan ITB mengatakan “kuliah di luar negeri itu lebih gampang. Didalam negeri ia IPK nya hanya kurang dari tiga. Tapi di luar negeri nilainya hampir nyaris sempurna empat.

Sedangkan di Indonesia kondisinya berbeda sekali, banyak tahapan yang harus dilewati, mulai dari test Tes Pontensi Akademik, Psikologi dan Tahapan Wawancara. (kesannya) sangat selektif. Sayangnya, tahapan-tahapan itu hingga sekarang belum membuktikan kalau peringkat Universitas dalam negeri akan lebih unggul dengan luar negeri. Berdasarkan QS World University Ranking tingkat Asia saja, Indonesia masih diposisi 67, yaitu Universitas Indonesia.

Belum lagi masalah kurangnya tenaga kerja dosen. Jadi ini semacam “ironis”, ketika masyarakatnya ingin mendapatkan pendidikan lanjutan. Faktanya universitas belum siap menampung, karena jumlah dosen paska yang masih sedikit. Hal ini merupakan salah satu faktor membutuhkan perhatian lebih lagi. Karena jika dibiarkan, sampai kapanpun angka statistik dan SDM kita tidak akan meningkat.

Dalam fenomena ini, tentu diperlukan perbaikan lagi dalam sistem penerimaannya. Harus semakin lebih bijak dan arif memberikan solusi. Karena penyelenggaran pendidikan lanjutan akan berdampak besar pada pola pikir bangsa Indonesia. Kalau memang benar kuota dosen pascasarjana yang masih sedikit, tentunya tidak boleh dibiarkan terlalu lama. Harus ditambah segera.

Satu lagi, hal yang harus ditekankan adalah mereka yang mendaftar dan kuliah S2 semuanya masih berstatus “bodoh”, ingin belajar. Itu aja!

Salamku

Budi Ardian Saputra

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun