Di sebuah warung kopi yang tak pernah kehilangan pelanggan, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal duduk bersama di meja langganan mereka, menatap layar ponsel masing-masing sambil menyeruput kopi. Hari itu adalah hari besar---hari pelantikan presiden baru, dan tentu saja topik yang tak bisa mereka abaikan: era baru pemerintahan dan harapan yang terbangun di pundaknya. Tapi bagi keempat sahabat ini, harapan baru justru terasa seperti drama lama yang diulang-ulang.
Kobar, yang paling suka mengamati politik, membuka obrolan dengan nada penuh semangat. "Bro, era baru nih! Presiden baru, harapan baru. Katanya bakal ada perubahan besar-besaran buat negeri ini. Ada yang denger janji-janji manis lagi?"
Kahar, yang biasanya lebih optimis, ikut tersenyum tipis. "Iya, Bor. Harapan baru. Tiap kali ada presiden baru, pasti harapan melambung tinggi. Gue baca janji-janji politiknya sih, kayaknya mau bikin semuanya jadi lebih baik. Nggak ada lagi korupsi, nggak ada lagi ketidakadilan. Dunia kayaknya bakal damai, tenang, dan semua masalah selesai."
Badu yang selalu skeptis langsung meledak dalam tawa. "Hahaha! Harapan baru, katanya! Bro, bukannya kita udah pernah denger cerita ini berkali-kali? Setiap ada pemimpin baru, harapan baru selalu digembor-gemborin. Tapi kenyataannya? Lihat aja, yang lama ditinggal gitu aja, yang baru? Ya paling cuma bungkusnya aja beda."
Rijal, si penengah, mengangkat bahu sambil menatap lurus. "Tapi mungkin kita harus ngasih kesempatan. Setiap pemerintahan pasti punya waktu untuk buktikan janji mereka. Mungkin kali ini beneran ada perubahan?"
Kobar, sambil menyeruput kopinya, langsung merespon dengan nada sarkasme. "Perubahan? Perubahan yang paling sering gue lihat itu biasanya cuma ganti dekorasi kantor. Presiden baru, cat baru, logo baru, terus slogan baru yang lebih catchy. Tapi isinya? Yah, itu-itu aja, bro."
Kahar mencoba mempertahankan harapan meski terdengar sedikit goyah. "Tapi mereka bilang kali ini bakal beda. Ada program reformasi besar-besaran! Ada revolusi teknologi, birokrasi dipangkas, dan investasi gede-gedean. Masa nggak ada yang berubah sama sekali?"
Badu kembali mengangkat alisnya. "Program reformasi? Bro, itu mah udah kayak playlist lagu lama yang diputer lagi. 'Reformasi birokrasi,' udah denger sejak gue masih pakai seragam sekolah. Tapi birokrasinya tetep aja bikin lo muter-muter kayak main ular tangga."
Rijal, yang biasanya lebih serius, mencoba menawarkan sisi rasional. "Mungkin kali ini teknologi yang bikin beda. Sekarang semua serba digital, e-government, semuanya online. Jadi prosesnya lebih transparan, nggak ada lagi yang main-main."
Kobar tersenyum sinis. "Iya, sih, semuanya online sekarang. Bahkan korupsinya mungkin udah lewat aplikasi juga. Udah ada sistemnya, tinggal klik aja."