Jalan kaki bukan akibat ketiadaan. Bukan pula sebab keadaan. Namun semata karena kebiasaan.
Sampai dengan kepindahan ke Kota Bogor, saat remaja, berangkat ke sekolah jalan kaki. Waktu itu, sampai tahun 1980-an rute dan armada angkutan umum masih terbatas.
Membayar ongkos becak akan melubangi kantong anak sekolah. Naik delman? Hanya akan sampai separuh perjalanan, sisanya berjalan kaki.
Ada sih teman diantar pakai mobil, sepeda motor, atau membawa sendiri kendaraan bermotor itu ke sekolah. Namun jumlahnya tak banyak.
Mereka adalah golongan ekonomi tingkat atas. Saat itu menebus kendaraan bermotor mesti tunai.
Kebiasaan berjalan kaki masih berlanjut sampai periode sesudahnya. Mulai berkurang ketika mulai sibuk mengejar --atau dikejar---waktu agar sampai ke tempat kerja.
Di kerasnya Ibukota terbirit-birit meraih sangkutan di pintu bus kota. Turunnya juga begitu, melompat dari angkutan umum dengan kaki kiri terlebih dahulu (bila dengan kaki kanan, tubuh cenderung akan jatuh mencium aspal).
Sekian tahun berikutnya keadaan lebih baik. Memperoleh pinjaman mobil perusahaan, untuk keperluan berangkat dan pulang serta untuk mobilitas saat ada keperluan kantor. Seterusnya sampai mampu membeli kendaraan bermotor sendiri, kendati tidak baru.
Kesibukan mengejar dan dikejar waktu membuat tidak sempat berjalan kaki, kecuali dari tempat parkir menuju pintu kantor dan sebaliknya.Â
Sedikit sekali kesempatan longgar untuk melangkahkan kaki lebih jauh, misalnya lebih dari 300 meter.