Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merawat Pancasila, Menyekat Perpecahan Bangsa dan Radikalisme

1 Juni 2021   07:57 Diperbarui: 1 Juni 2021   08:14 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pancasila (DOK KOMPAS/HANDINING)

"Perlu diingat bahwa manusia Indonesia bukannya beretika dan beragama karena ia ber-Pancasila, melainkan ia ber-Pancasila karena ia beretika dan beragama." (Franz Magnis Suseno, Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi filsafat Driyarkara)

Sekitar tiga hari terakhir saya memutuskan untuk tidak aktif dalam percakapan di WAG keluarga. Bukan keluar. Pasalnya, sepupu yang pensiunan sebuah lembaga negara berseberangan pendapat dengan adik dari Ibu.

Dalam unggahan pendapatnya, sang Keponakan cenderung "anti pemerintah" dengan segala pembenaran. Sang Paman "mendukung pemerintah," pun dengan segala justifikasinya. Apakah itu sisa dari lumpur selokan friksi akibat rivalitas Pilpres pada masa lampau atau bukan, yang pasti perdebatan-perdebatan tersebut memanas menjadi pertengkaran.

Perdebatan atas opini berbeda sebetulnya sah-sah saja. Ia merupakan sisi alami dari setiap hubungan. Namun pada perkembangannya, perbedaan itu demikian emosional, sehingga mewujud perselisihan.

Konflik yang kemudian melebar, berpotensi menjadi pertengkaran umum, ketika WAG disesaki oleh pertikaian pandangan politik. Maka dari itu, saya pelan-pelan undur diri dari membaranya percakapan WAG keluarga. Daripada terseret oleh emosi jiwa. Enggak banget deh.

Ikatan primordial, ikatan kekerabatan seketika runtuh akibat perbedaan pandangan politik. Dalam tataran lebih luas, separasi itu melebar menjadi paradoks narasi antara kelompok anti pemerintah dengan kelompok pro-pemerintah. Jangan lupakan juga mereka yang bersikap apatis terhadap keduanya.

Konflik tersebut meletup-letup di linimasa dengan hawa panas yang dapat menggiring kepada perpecahan dan disintegrasi di antara sesama anak bangsa. Konflik yang cenderung menegasikan etika dan adab

Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005, Ahmad Syafii Maarif menyebutkan, "Jangan dibiarkan lagi tahun-tahun kemerdekaan ini berlalu dengan sia-sia. Indonesia terlalu mulia untuk dijadikan ajang pertarungan politik tuna adab dengan membenamkan Pancasila ke bawah debu sejarah!"

Sejak kelahirannya, sejarah mencatat pengkhianatan terhadap Pancasila. Pancasila merupakan temuan terbaik para pendiri bangsa dengan nilai-nilai luhur pada tataran filosofi dan teori.

Sebagai dasar negara, Pancasila bersama UUD 1945 menjadi pedoman bernegara dan berbangsa. Namun amanat itu lebih banyak bersifat teoretis, di mana pada praktiknya banyak meleset. Menurut Buya Syafii, Pancasila hanya berfungsi sebagai etalase politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun