Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Lansia Dipenjara akibat Mengecam Kepala Negara dan Batasan Kritik Pejabat Publik

9 Februari 2021   19:47 Diperbarui: 9 Februari 2021   20:15 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo meresmikan renovasi Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (7/1/2021). Renovasi ini merupakan yang pertama sejak 42 tahun lalu, dengan menghabiskan waktu 14 bulan untuk merampungkan proses renovasi.(BIRO PERS SETPRES / KRISHADIYANT) [Melalui Kompas.com)

Penerapan undang-undang yang melarang kritik terhadap keluarga kerajaan Thailand, menyebabkan seorang wanita berusia 65 tahun dihukum penjara selama 43 tahun. Peristiwa semacam itu nyaris mustahil terjadi di negara kita.

Pada tanggal 8 Februari 2021 kemarin dikabarkan, Komite Kerja Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang penerapan undang-undang yang mengekang kritik kepada keluarga kerajaan Thailand. 

Paling sedikit 40 aktivis dituntut hukuman setelah memimpin demonstrasi terbuka yang mengkritik raja Thailand, Vajiralongkorn. Tidak itu saja, seorang wanita berusia 65 tahun, Anchan Preelert, dijatuhi hukuman 43 tahun penjara pada Januari baru lalu.

Menurut konstitusi Thailand, raja adalah Kepala Negara dan juga dianggap sebagai wakil Tuhan yang merepresentasikan kekuatan moral tertinggi. Demokrasi yang tumbuh pada tahun 1973 tersebut belum bersenyawa dengan kultur monarki yang konservatif, sehingga menimbulkan gejolak ketika terjadi aksi mengecam pemerintah dan, belakangan, keluarga raja. Kesenjangan antara tradisi dan sistem demokrasi itu terjadi di negara yang sama-sama menjadi anggota ASEAN. 

Lantas bagaimana situasi di negara kita, berkaitan dengan batasan kritik kepada pejabat publik?

Mengutip kompas.com, Presiden Joko Widodo meminta, agar masyarakat menyampaikan kritik dan masukan terhadap kerja-kerja pemerintah. Atas imbauan itu, warganet meresponsnya dengan nada pesimis.

Tangkapan layar komentar warganet di laman kompas.com (dokumen pribadi)
Tangkapan layar komentar warganet di laman kompas.com (dokumen pribadi)
Perangkat hukum yang mengatur kritik atau kebebasan berekspresi telah dimuat dalam pelbagai undang-undang, antara lain: UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE); UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (UU PHP).

UU ITE dikenal mengandung "pasal karet" yang dapat menjerat orang berkaitan dengan dokumen elektronik bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Juga berkenaan dengan ancaman terhadap orang yang menjelekkan dan mencemari nama orang lain, melontarkan kalimat mengandung SARA, dan memicu provokasi melalui media sosial. Sedangkan UU PHP digunakan untuk menjerat pihak penghasil dan penyebar kabar tidak pasti (hoaks) yang menimbulkan keonaran di kalangan rakyat. 

Pasal-pasal tersebut dianggap dapat menyumbat kritik.

Senapas dengan produk hukum di atas adalah aturan berdasarkan Surat Telegram Kapolri 1100/2020, yakni Pasal 207 KUHP yang mengisyaratkan ancaman hukuman untuk penghinaan terhadap presiden pada masa penanganan Covid-19.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun