Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Kegaduhan Pemberian Bintang Mahaputera kepada Hakim MK

18 November 2020   20:08 Diperbarui: 19 November 2020   18:40 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Mahkamah Konsititusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi dua hakim konstitusi Enny Nurbaningsih (kiri) dan Arief Hidayat (kanan) memimpin sidang pendahuluan sengketa hasil Pemilu Legislatif 2019 di gedung MK, Jakarta, Rabu (10/7/2019). (ANTARA FOTO/Reno Esnir/ama via kompas.com)

LBH Jakarta mendesak enam hakim MK mengembalikan penghargaan Bintang Mahaputera yang diberikan Presiden Jokowi. Tiga hakim aktif itu menerima Bintang Mahaputera Adipradana, sedangkan tiga hakim MK lainnya menerima Bintang Mahaputera Utama.

Arif Maulana, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, mencurigai pemberian tersebut adalah bentuk intervensi pemerintah terhadap independensi hakim Mahkamah Konstitusi (MK).

Pemberian penghargaan tersebut dikhawatirkan oleh sejumlah pihak. Sekurangnya, Feri Amsari, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, dan Pengamat hukum Andri W. Kusumah menilai pemberian itu akan berpengaruh terhadap obyektivitas hakim dan momentumnya dapat menciptakan relasi conflict of interest dalam proses uji materi.

Penilaian senada disampaikan oleh Pengajar Hukum Tata Negara Ahmad Redi kepada Kompas.com, Kamis (12/11/2020). "Pemberian penghargaan ini potensial mempengaruhi independensi hakim dalam memutus perkara-perkara karena Presiden merupakan pihak yang berperkara di MK," tandasnya.

Diketahui, pemberian penghargaan berlangsung di tengah gugatan terhadap Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja oleh sejumlah pihak kepada MK.

Sementara itu, Juru Bicara MK, Fajar Laksono, menampik kekhawatiran itu, "Insyaallah tidak akan mempengaruhi sikap dan pikiran Hakim Konstitusi dalam mengadili perkara," sebutnya pada hari Senin (16/11/2020).

Sebelumnya, Kepala Staf Presiden Moeldoko mengklaim bahwa pemberian penghargaan tidak akan menggangu independensi enam hakim MK tersebut.

Tanda kehormatan Bintang Mahaputera dan Bintang Jasa diberikan dalam Penganugerahan tanda kehormatan (Bintang Mahaputera dan Bintang Jasa) kepada 71 tokoh terpilih pada hari Rabu (11/11/2020) di Istana Negara, Jakarta.

Tentunya pemberian penghargaan di atas menempuh prosedur seleksi dan penentuan penerima yang diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. 

Maka untuk itu diberikan penghargaan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 118 dan 119/TK/TH 2020 tertanggal 6 November 2020. Menurut prosedur, semestinya pemberian gelar itu telah memenuhi syarat aturan perundangan.

Namun beberapa pihak menyayangkan, pemberian penghargaan tersebut sebagai tidak etis, karena momentumnya bertepatan dengan proses perkara gugatan Omnibus Law di MK. Selain itu MK sedang menguji UU Mineral dan Batu Bara dan UU Tindak Pidana Korupsi.

Diketahui, legalisasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah menimbulkan kegaduhan sebagai reaksi atas langkah pemerintah dan DPR itu.

Undang-undang sapu jagad itu dianggap merugikan posisi buruh, sebaliknya ia menguntungkan pihak pengusaha/investor. Undang-undang ini ditengarai sarat dengan kepentingan bisnis.

Tidak pelak, tudingan itu diikuti dengan gelombang protes dan demonstrasi di berbagai daerah. Kegaduhan itu kontraproduktif terhadap kinerja pemerintah yang sedang pontang-panting mengatasi pandemi Covid-19, salah satunya adalah terhadap protokol kesehatan.

Dengan pemberian gelar Bintang Mahaputera kepada enam hakim MK aktif itu akan menimbulkan kesangsian atas independensinya dalam proses perkara gugatan UU Omnibus Law dan UU lainnya. Apapun hasil keputusan MK atas pengujian UU itu, akan menimbulkan kecurigaan di kalangan pihak penggugat dan masyarakat.

Apalagi jika hakim MK memenangkan pihak pemerintah dalam perkara uji materi Omnibus Law. Kecurigaan adanya intervensi pemerintah terhadap independensi hakim MK melalui "barter" dengan Bintang Mahaputera akan semakin menguat.

Keluarannya bisa berupa kegaduhan politik (lagi) yang diikuti oleh protes keras dan gelombang demonstrasi dari pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Dengan demikian, agar tidak berlarut, ada baiknya pemerintah memperbaiki dan melakukan komunikasi politik secara terang benderang yang bisa diterima berbagai lapisan masyarakat luas, sehingga bisa meminimalisir potensi kegaduhan yang mungkin terjadi. Demikian karena opsi pencabutan gelar Bintang Mahaputera dari hakim MK itu adalah nyaris mustahil.

Sumber rujukan: 1, 2, dan 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun