Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kekuatan Pikir yang Berpengaruh terhadap Anak Perempuan, Bukan Ayahnya

24 Oktober 2020   07:27 Diperbarui: 24 Oktober 2020   07:38 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ayah dan Anak Perempuan (dokumen Budi Susilo)

Sebagaimana diidamkan banyak orang, saya dititipi oleh Sang Maha Pemilik Kehidupan sepasang anak, kendati masing-masing memiliki rentang usia cukup jauh.

Saat ini anak perempuan saya sedang merintis karir sebagai corporate lawyer, sedangkan adiknya masih bersekolah.

Anak perempuan saya menyelesaikan kuliah hukumnya pada sebuah Universitas Negeri terkemuka berlokasi di Depok. Menjadi pengacara adalah salah satu idamannya.

Semenjak berusia belia, ia berkeinginan terjun di dunia yang berhubungan dengan kemanfaatan orang banyak, yang mengharuskannya berkemampuan komunikasi dengan baik.

Mendekati usia kuliah, keinginan tersebut semakin kuat dan jelas mengarah kepada bidang studi hukum atau komunikasi massa.

Berbeda dengan ayahnya yang memilik keterbatasan dalam mengekspresikan pokok pikiran, dalam tulisan apalagi lisan, alias pendiam. Anak perempuan saya sudah menunjukkan keingintahuan yang tinggi dan kemampuan menyampaikan pendapat secara lugas, atau orang menyebutnya capetang (bhs. Sunda untuk anak yang pandai bicara).

Pemahaman itu bermula ketika ia mulai bisa berbicara. Dengan bahasa khas anak-anak menanyakan tentang berbagai hal yang kemudian membuat orang lain kehabisan kata untuk menjawabnya. Dari situlah saya menyadari adanya kelebihan.

Berikutnya, saya berusaha keras menandingi keingintahuannya dan kemudian timbullah percakapan-percakapan tentang segala sesuatu yang terdengar "ajaib" di telinga orang lain.

Kedekatan tersebut berlanjut. Di antaranya, mendampinginya belajar saat mengerjakan tugas sekolah. Sampai kuliah saya dijadikan teman berdiskusi.

Ada satu kejadian menarik waktu anak perempuan saya masih kelas 2 SD. Gurunya memberikan nilai jelek dalam tugas mewarnai. Anak perempuan saya membuat dedaunan berwarna hijau, coklat, kemerahan, biru,  sementara guru "mewajibkan" warna tunggal hijau untuk daun.

Agar kekecewaan itu tidak membekas sampai dewasa, saya mengajarkannya untuk berbesar hati dan memahami posisi gurunya.

Guru terikat kurikulum yang mewajibkan daun harus berwarna hijau. Sedangkan kita memiliki kebebasan untuk memandang semesta secara luas, dari berbagai sisi. Senyatanya, dedaunan di alam bebas berwarna-warni, bahkan ada yang pink, tergantung banyak hal yang mempengaruhinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun