Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menafikan Maskulinitas atas Hebohnya Antrean Perceraian

4 September 2020   13:51 Diperbarui: 4 September 2020   13:41 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh mschiffm dari pixabay.com

Antrean orang mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama (PA) Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, sempat viral di media sosial. Panitera Muda PA Soreang, Ahmad Sadikin, menyebutkan, jumlah gugatan cerai berkisar 700 - 800 kasus setiap bulannya sejak munculnya pandemi. Bahkan pada bulan Juni 2020, jumlah gugatan melampaui angka 1.012 kasus.

Keterangan tersebut ditegaskan oleh Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, Aco Nur, bahwa sampai dengan bulan Juli propinsi Jawa Barat menyumbang angka perceraian terbanyak, kemudian diikuti Kota Semarang dan Surabaya .

Gugatan cerai umumnya karena faktor ekonomi, yaitu ketidakpastian pendapatan suami akibat pandemi. Ya! Sebagian besar kasus yang ditangani PA adalah cerai gugat alias pihak pasangan wanita, istri, yang menggugat cerai suaminya.

Pandemi merupakan muara dari krisis multidimensi yang telah meruntuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Terjadi perlambatan dalam kehidupan ekonomi yang kemudian mendorong pemutusan hubungan kerja, atau setidaknya pengurangan penghasilan pekerja. Pada gilirannya, ditambah faktor-faktor pelambatan lain, mengurangi transaksi pada sektor riil. Maka, penghasilan dari perdagangan pun menurun.

Persoalan-persoalan inilah disebut sebagai faktor ekonomi, yang ditengarai memicu meningginya angka perceraian. Namun benarkah demikian?

Sebelum masa pandemi, pertengkaran  dan faktor ekonomi ihwal yang kerap disampaikan kepada majelis hakim oleh pasangan yang akan bercerai. Terdapat beberapa faktor lebih "abstrak" yang diduga kuat menjadi penyebab.

Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian

Dikutip dari theasianparent.com, ada 7 hal penyebab perceraian, yaitu:

  1. Pernikahan usia dini atau di atas 32 tahun. Dari hasil penelitian, pasangan yang menikah di bawah usia 20 tahun dan setelah pertengahan 30 tahun memiliki risiko tinggi untuk bercerai.
  2. Suami tidak punya pekerjaan tetap. Ada anggapan, lelaki adalah pencari nafkah utama bagi keluarga. Tidak adanya penghasilan tetap bisa memengaruhi kestabilan rumah tangga.
  3. Putus sekolah. Pasangan tidak lulus sekolah di jenjang SMA cenderung memiliki pola perceraian yang sama. Orang dengan tingkat pendidikan rendah relatif  lebih sulit mengakses dunia pekerjaan, sehingga dapat memengaruhi pemasukan kelurga.
  4. Memandang rendah pasangan.  Memandang rendah suami atau istri adalah kesalahan fatal pemicu perceraian. Kritik berlebihan, bersikap defensif, tidak pernah mengakui kesalahan dan menyalahkan orang lain ketika menghadapi situasi sulit. Kemudian suka memotong pembicaraan dan tidak berusaha mendengar pendapat dari pasangan.
  5. Terlalu mesra ketika baru menikah, yang membuat pasangan tidak mampu menghadapi ketegangan dalam pernikahan. Perceraian lebih berpotensi terjadi pada pasangan yang cenderung memperlihatkan kemesraan berlebih, dibanding pasangan dalam dosis keharmonisan yang wajar.
  6. Enggan menyelesaikan masalah.  Masing-masing merasa bahwa dirinya bukan penyebab masalah. Salah satu pihak akan menekan dan pihak lainya hanya diam.
  7. Memandang pernikahan secara negatif. Kurang perhatian kepada pasangan. Tidak memandang pernikahan sebagai penyatuan, mengedepankan rasa individual yang tinggi, dan tidak terbuka.

Persepektif Feminisme

Kebanyakan kasus perceraian di atas dimotori oleh istri, yang tidak sedikit berprofesi sebagai ASN, utamanya guru. Sementara orang berpendapat, lebih mapan dan meningkatnya kondisi ekonomi istri dibanding suami menjadi pemicu cerai gugat oleh pasangan wanita.

Dalam amatan yang mendahulukan pandangan maskulinitas, kenyataan tersebut cukup mengejutkan. Kerangka pemahaman itu mengasumsikan eksistensi keadaan yang tidak setara, antara wanita dengan pria. Ketidaksederajatan itu bisa berbentuk dominasi pria, ketimpangan gender, atau efek sosial dari polaritas jenis kelamin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun