Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Sertifikasi Perkawinan, Antitesis dari Penyerdehanaan Birokrasi

19 November 2019   07:31 Diperbarui: 19 November 2019   09:17 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cincin perkawinan |Sumber: dokumentasi pribadi

Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) mewajibkan sertifikasi perkawinan bagi pasangan yang akan menikah. 

Bagi pasangan pra-nikah yang telah lulus bimbingan selama tiga bulan, mendapat surat izin yang membolehkan menikah. Bagi yang tidak lulus, siap-siap mengubur impian membina mahligai pernikahan.

Menko PMK, Muhadjir Effendy, berdalih bahwa kebijakan tersebut penting, agar pasangan akan menikah mengetahui bagaimana (cara) membangun keluarga.

Campur tangan negara ke dalam ruang privasi rakyat itu kemudian dijustifikasi oleh Deputi VI Bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak Kemenko PMK Ghafur Darmaputra: 

Dijelaskan, bahwa bimbingan diadakan untuk menyiapkan warga Indonesia menjadi sumber daya manusia (SDM) yang unggul di masa depan, sehat, bebas dari stunting dan selanjutnya.

Kelas pengadaan bimbingan pra-nikah itu bisa jadi diadakan dengan jumlah peserta tertentu, tidak tiap saat pasangan memperoleh jadwal bimbingan sesuai keinginan. Tentu juga butuh pengaturan layaknya lokakarya: fasilitator yang mumpuni, peralatan, tempat, dan sebagainya.

Sudah dapat dibayangkan, pasangan yang akan menikah yang biasanya harus melewati serangkaian persyaratan administratif dan sekarang ditambah pula dengan kewajiban sertifikasi yang memerlukan waktu relatif lama.

Memperkirakan perihal tersebut, program sertifikasi perkawinan dapat menjadi sebuah gagasan yang bertentangan dengan semangat penyederhanaan birokrasi, sebagaimana digaungkan oleh Presiden Jokowi.

Kementerian Koordinator PMK bertugas menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan di bidang pembangunan manusia dan kebudayaan.

Secara singkat, fungsinya adalah perumusan kebijakan, pengendalian, koordinasi, pengawasan, dan dukungan administratif dalam implementasinya.

Kemudian ada beberapa lembaga pemerintah dibawah Kemenko PMK: Kementerian Agama; Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; Kementerian Kesehatan; Kementerian Sosial; Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; Kementerian Pemuda dan Olahraga; dan Instansi lain yang dianggap perlu.

Postur itu saja sudah menunjukkan betapa luasnya skala kegiatan Kemenko PMK menyangkut banyak bidang yang harus ditangani dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. 

Masing-masing kementerian telah mempunyai tupoksi, program-program, sarana, dan prasarana serta anggaran untuk mempersiapkan manusia Indonesia yang berkualitas, tentu saja dibawah koordinasi Kemenko PMK

Organisasi pemerintahan tersebut sudah menunjukkan piramida pengaturan lembaga dan orang-orang serba rumit, disebut birokrasi. Ditambah dengan adanya sertifikasi perkawinan akan menambah benang kusut birokrasi yang harus diurai oleh pasangan hendak menikah.

Suatu kebijakan yang tampaknya dibuat terburu-buru, sehingga melawan arus semangat penyerdehanaan birokrasi.

Birokrasi yang lugas, seperti dicanangkan Presiden Jokowi pada pidato pelantikannya pada tanggal 20 Oktober 2019:

Tugas kita itu menjamin "delivered", bukan hanya menjamin "sent". Saya tidak mau birokrasi pekerjaannya hanya sending-sending saja. Saya minta dan akan saya paksa, bahwa tugas birokrasi adalah "making delivered".

Jika dimaknai, kata "delivered" merujuk ke hasil pencapaian secara konkret bukan semata-mata kisah keberhasilan saja. Sedangkan kata "sent" diinterpretasi sebagai suatu cara yang sudah disusun atau hal yang telah dibuat, seperti: proposal dan makalah hasil lokakarya lainnya ysng bersifat abstrak.

Isi pidato itu menggambarkan pokok pikiran presiden untuk menyederhanakan birokrasi. Kemudian tugas dari pemerintah saat ini berfokus kepada hasil (result) nyata yang dicapai, bukan bagaimana cara mencapai atau proses pencapaian seperti yang ditunjukkan secara abstrak selama ini.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan sementara, bahwa program sertifikasi perkawinan yang digagas Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) merupakan gagasan abstrak yang bias dari maksud presiden tentang komitmen untuk mencapai hasil, seperti dimaksud presiden. 

Program itu hanya akan menambah panjang proses birokrasi.

Jangan-jangan mereka yang terpaksa menikah karena --maaf, "kecelakaan"-- keburu kandungan membesar ketika bimbingan pra-nikah telah usai. Kebijakan itu akan melahirkan perkawinan di bawah tangan, sambil menunggu sertifikasi. Potensi terjadinya "jual beli" sertifikat untuk mengatasi keruwetan birokrasi.

Lalu saya membayangkan, pada sidang perdana kabinet, Presiden Jokowi berapi-api menyampaikan kredo Indonesia Maju dan kemudian bertanya ke Menko PMK yang sedang mengangguk terkantuk-kantuk: apa crash program jangka pendek berkaitan dengan kualitas SDM Indonesia?

Terkejut mendadak ditanya, pak Menteri menjawab: program sertifikasi perkawinan Pak, tahun depan!

Sebuah gagasan asal-asalan yang membuat bawahan kalang-kabut untuk menyusun justifikasi.

~~Sekian~~

Sumber bacaan: 1, 2 dan 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun