Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Segelas Kopi

12 November 2019   09:17 Diperbarui: 12 November 2019   09:19 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumen pribadi: segelas kopi liong bulan

Seketika aroma kopi berhamburan menjelajahi udara pengap.

Lelaki berwajah kotak berleher beton seperti Mike Tyson menuang cermat air mendidih menyiram bubuk kopi Liong Bulan. Dipandangnya uap meruap keluar dari gelas bening selama dua menit --terasa dua jam bagiku-- mengamati gelembung buih satu-persatu tenggelam ke dasar gelas bersama ampas. Diambilnya busa tersisa pada permukaan dengan sendok berkilau diterpa lampu delapan watt, dibuang secara telaten ke piring kecil yang mengalasinya.

"Ritual seperti ini mesti dilakukan, agar sempurna rasa", terang lelaki berkulit gelap yang sudah amat terbiasa menentang matahari. Keadaanku tidak memungkinkan turut mengecap kopi khas kota Bogor tersebut.

Selama waktu tata-cara menyeduh --yang terasa lama dan membosankan-- lelaki berbadan gempal namun pendek itu mengisahkan sejarah kehidupannya tanpa diminta. Sedikit seduhan dicicipnya.

Asep, lelaki berwajah kotak berleher seperti Mike Tyson berkulit gelap berbadan gempal namun pendek, adalah seorang pendatang dari kampung Situ Gunung, Sukabumi, mengadu nasib dengan berdagang di Pasar Anyar.

Awalnya berdagang daging. Modal besar menyebabkannya meminjam uang pada inang-inang yang banyak bertebaran dari saat belum subuh. Berjualan daging segar tidak berjalan sesuai harapan. Situasi penjualan menyepi, membuatnya kesulitan membayar rente mencekik.

Tak berapa lama, ia beralih menjadi pedagang sayur. Beruntung, seorang tengkulak sayur-mayur bersedia memberikan barang dengan cara pembayaran tempo. Tengkulak memenuhi lapak dengan barang dagangan senilai dua juta, pelunasan dilakukannya pada sore hari beserta bunga. Begitu mekanisme yang mereka sepakati.

Asep menghirup aroma kopi sebelum dicecap. Aku memperbaiki posisi badan. Malam semakin memuncaki purnama.

Bapaknya adalah seorang peternak ayam potong, sebagaimana kebanyakan pria di kampungnya. Peternakan yang dikelola secara tradisional.

Peternak yang sangat menggantungkan sumber pasokan bibit dan pakan ternak dari produsen. Sementara pabrikan pakan diam-diam membentuk kesepahaman dengan peternak raksasa berteknik pengelolaan modern. Kelompok industrialis itu kemudian mengendalikan harga, membatasi suplai dan membunuh kompetisi.

Para peternak tradisional, suka tidak suka, menikmati harga tinggi dari pabrikan untuk penjualan produk secara murah. Kartel membanjiri pasar dengan hasil peternakan moderennya. Tak sedikit peternak tradisional protes dengan membuang ayam potong secara demonstratif agar menarik perhatian publik. Tiada satupun pihak bergeming, kecuali para kuli tinta yang beruntung memanen berita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun