Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

November Drain, Bukan Rain

4 November 2019   16:30 Diperbarui: 4 November 2019   16:39 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
illusratrated by: shutterstock

Aku menggumamkan sebait lagu November Rain:

When I look into your eyes
I can see a love restrained
But darlin' when I hold you
Don't you know I feel the same
Nothin' lasts forever
And we both know hearts can change
And it's hard to hold a candle
In the cold November rain

Desir-desir lembut beriak di dalam sana lalu menggelombangkan rasa, riakannya merambat halus di bawah permukaan kulit tatkala sebuah bayang melintas menyesaki kalbu. Aku telah tergelincir pada sihirnya. Suatu daya pikat yang tak pernah bisa kumengerti bagaimana terbentuknya. Tiba-tiba terjerembab begitu saja. Aku mencintai sekaligus membenci wanita sialan itu.

Novi sebenarnya pribadi mbeling yang berlaku sesuka hatinya, bisa jadi itu merupakan pengejawantahan dari skeptisme dalam nalurinya: selalu menaruh kecurigaan dan terlalu amat berhati-hati dengan sikap atau pendapat orang baru dikenalnya. Potongan rambut pendek, berpakaian kelaki-lakian minim pulasan kosmetik menghadirkan sosok yang keras seperti hendak menunjukkan ketidak-terbukaan kepada lingkungan sekitar.

Tentu saja, kecuali kepada diriku. Hanya kepadaku Novi merasa nyaman membuka diri --dalam segala hal-- lalu bercerita blak-blakan dan jujur perihal kehidupannya.

Di mataku, kekasihku itu merupakan sosok yang mempesona. Ada daya tarik tersendiri. Ada misteri yang membuatku serta-merta jatuh cinta. Seperti ada sedikit kemampuan pengecapan indera ke-enam, yakni kelebihan bisa mengetahui sebelum peristiwa itu terjadi. Bagaimana tidak, beberapa kali aku saksikan kemampuan aneh itu di depan mata kepalaku sendiri.

Paling dahsyat ketika ia seperti menceracau mengusir perihal terselubung pada plafon kamar ayahnya, satu-satunya orang yang ia percaya untuk menumpahkan segala persoalan setelah ibunya tiada. Air matanya menggenang ketika didengarnya suara kencang cericit burung kedasih pada satu hari, katanya: "ayah mau dijemput". Aku menenangkan, karena pada dasarnya aku tidak memercayai mitos yang telah berakar tersebut. Tak berselang lama, proyeksi itu menjadi kenyataan.

Ia dilahirkan berdua saja dengan saudara perempuan yang sangat dikasihinya. Sedemikian sayang hingga ia sangat protektif bahkan siap dengan gaya menyiksa ketika mengetahui bahwa saudara yang disayanginya itu disakiti orang lain. Sikap keras kemudian menjadi sifat dendam yang tidak berkesudahan.

Watak yang tidak gampang melupakan kesalahan hingga tidak begitu saja bisa memaafkan orang lain. Meminta maaf atas kesalahan kadang justru berbalik menjadi tindak pembalasan menggetarkan.

Suatu ketika, aku begitu terlambat menjemput dari kantornya. Sedemikian terlenanya aku berada di toko aksesoris mobil, ganti dan tambah perangkat yang bisa menambah rasa puas diri sampai hari melarut gelap.

Aku gelagapan ketika berdalih macam-macam, hal demikian malah berkesan membohonginya. Sepertinya wanita cantik itu terlalu cerdas untuk mempercayai kebohongan demi kebohongan yang telah aku susun script-nya di dalam benak. Senyum tidak sedap menghias wajah rupawan seperti mencemooh ketakjujuran yang susah payah telah aku skenariokan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun