Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pada Sebuah Lorong

24 Oktober 2019   08:12 Diperbarui: 24 Oktober 2019   08:19 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak seperti yang sering ditemui, sebuah lorong bisa bercerita tentang sepi yang merindingkan bulu tengkuk; atau kumuh dihuni gelandangan menunggu iba; atau dinding temboknya dipenuhi centang perentang coretan sementara lantainya berdebu sampah bertebaran Ada juga dijumpai suasana seperti lorong besar dimana rumpun bambu di sisi kiri-kanan saling menunduk bak berjabatan tangan pada ujung-ujungnya hingga membentuk sebuah tenda raksasa menyejukkan pandangan. Tapi itu sebuah jalan raya yang dilewati truk tronton pengangkut batu belah hilir-mudik. Berbeda dengan lorong yang sedang Rio lalui.

Lorong itu sepi dan menenangkan. Dikonstruksi dari besi pipa dilas, dengan penutup yang dibentuk melengkung sehingga air mengalir sempurna menuju talang buangan di sisi kiri dan kanannya. Atap dari bahan twin lite polycarbonate berwarna sejuk cukup untuk merembeskan sinar matahari. Di sisi kanan dipasang pipa-pipa pvc berisi kangkung dan daun mint ditanam secara hidroponik yang ditenagai oleh sel surya untuk mengalirkan air jernih sepanjang waktu. Di bagian kanannya berderet pot-pot berisi tanaman cabe rawit, lavender dan zodia yang merupakan tumbuhan pengusir nyamuk. Pada ujungnya terdapat seperangkat kursi-kursi taman mengitari meja bertenda kain.

Disitulah Rio mendaratkan pantat setelah menyusuri lorong sepi dan menenangkan. Pak Mus menempati kursi lipat kayu itu terlebih dahulu.

"Sehat Pak Mus?" Rio menyapanya.

"Selalu merasa lebih baik", jawab pak Mus gembira, "udara segar menyehatkan selalu tersedia melimpah di tempat ini".

Matahari merayapi siang. Tidak seperti sebelumnya, dimana alam berputar serba cepat. Beberapa orang memburu matahari yang kemudian bergegas berlarian meminta perlindungan pada malam. Malampun menjadi penebus kurangnya waktu. Waktu yang tidak cukup memuat kegiatan bersantai dengan keluarga atau berhening menundukkan jiwa kepada Sang Maha Pemilik Waktu.

"Makan siang dimana?" Rio sambil melirik kantin.

"Waktu istirahat siang saya biasa makan di rumah, menemani istri", jawab pak Mus, " saya mesti menyuapinya karena belum bisa makan sendiri".

"Darah tinggi. Itu kejadian untuk keempat kalinya!" nada kesal tampak pada wajah pak Mus, "Kecapean. Waktu masih sehat, istriku sibuk kesana-kemari memenuhi undangan berbagai kegiatan bersama teman-temannya. Saya sudah ingatkan, toh bisa membaca kitab di rumah saja. Orang pasti akan memahami bila diterangkan tentang perlunya kecukupan istirahat bagi orang yang pernah terserang. Eh...istriku tidak mau dengar, sekarang jadi tidak berdaya".

Pak Mus melanjutkan "Bisa jadi makanan saat berkumpul menjadi faktor pemicu. Makan apa saja, tidak bisa dikontrol?".

"Kalau pak Mus, karena kolesterol ya? " tanya Rio.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun