Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pondok Kecil untuk Bunga

14 Oktober 2019   08:08 Diperbarui: 14 Oktober 2019   08:38 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Konon, pada kelipatan lima tahun menyembul  gonjang-ganjing bahtera rumah tangga melintasi badai kehidupan. Pemilu saja tiap lima tahun mengalami turbulensi, ketika para kandidat berebutan suara orang banyak. Tapi perkawinan tidak serta-merta bisa disamakan seperti itu. Keributan lebih banyak ditimbulkan oleh tersembulnya satu demi satu sifat-sifat asli pasangan. Huru-hara berupa drama pertengkaran dapat diredakan di atas tempat tidur atau berkelanjutan tanpa berkesudahan, sampai-sampai perpisahan menjadi satu-satunya pintu keluar.

Tiba di perayaan perkawinan ke lima, aku masih bisa bermufakat terhadap pertengkaran dengan istri. Bukankah kompromi merupakan faktor kunci di dalam pernikahan? Anggaplah bumbu penyedap yang mewarnai peraduan kami berdua. Meskipun asam garam pertengkaran terkadang berkelebihan sehingga tidur baku punggung. Atau membuatku tidur di sofa ruang tamu ditemani nyamuk. Tapi tidak sekalipun terbersit pikiran untuk bercerai. Mungkin aku jenis suami penyabar atau pendiam yang tidak suka pemberontakan.

Problema ekonomi, biasa menjadi sebab klasik di ruang sidang Pengadilan Agama, bukanlah masalah yang perlu dibesarkan. Istriku seorang karyawati sebuah bank swasta nasional, sedangkan aku meraup laba dari pekerjaan pemborongan. Persoalan remeh-temeh kian membuatku lebih mengerti wataknya yang senang berkicau --seperti Miss Jengkelin-- pada hal-hal terinci, termasuk soal selera.

Aku pernah membawakan martabak. Dikomentarinya bahwa makanan itu terlalu banyak minyak atau asin. Alhasil, malam itu aku begitu kekenyangan. Lain waktu membelikan kue terang bulan berisi cokelat kacang keju, maka istriku menolaknya dengan alasan terlalu manis, sebagaimana saat kubawakan bagelen dari Bandung. Mie ayam baso terenak hanya dikecap sesendok, tidak dimakan karena berkuah vestsin. Segala makanan gagal memuaskannya, lalu masuk ke perutku yang bertambah maju. Berbeda dengan istriku, tubuhnya lebih langsing elok dipandang bagai masih gadis.

Aku tidak punya ide lagi, penganan apa yang bisa kubawa pulang sebagai buah tangan untuk dimakan bersama di bawah temaram? Kerabat berangsur enggan membawa hantaran, daripada kuenya dbilang terlalu manis, pempek terlalu kuahnya masam atau gorengan begitu berminyak. Komentarnya serupa cabe rawit. Upaya menenangkan justru menyiramkan bahan bakar kegusaran lalu merembet mencerca tayangan televisi, memaki limpasan sampah dan segala hal yang membuatku sebaiknya mematung.

Kebalikan dari aku yang merelakan barang tak terpakai, istriku menyimpan barang-barang sejak menikah. Baju-baju usang, sepatu yang sudah banyak jumlahnya, hadiah pernikahan serta pernak-pernik menyesaki lemari. Terpaksa aku membelikan satu lemari lagi untuk menyimpan baju baru. Satu lemari untuk menyimpan sepatu. Satu lemari untuk menempatkan kado dan aksesoris. Lemari-lemari itu dikumpulkan di kamar satunya. Sedangkan lemari untuk pakaian sehari-hari berada di kamar yang kami tempati sekarang. Kantong kresek dilipat segitiga disimpan pada beberapa kardus bekas penganan agar bisa digunakan lagi. Botol kosong dikumpulkan, katanya demi tidak menambah sampah umum.

Rumah kami memang tipikal hunian keluarga muda jaman milenial: dua kamar tidur, satu kamar mandi, ruang tamu sekaligus ruang keluarga, carport dan sejengkal halaman depan. Bisa dibayangkan, betapa sempit rumah mungil itu dengan segala perabotan, kardus-kardus bekas jajanan, jejeran botol dan barang-barang yang layak menghuni tempat pembuangan akhir. Rasanya, selama lima tahun rumah yang kami tempati semakin mengkerut.

Namun yang membuatku kehilangan nafas adalah ketika kerabat bertanya mengenai momongan. Muka istriku ditekuk tiga belas. Jika sudah begitu, nanti akan ada lengkingan membahana menembus dinding tembok tetangga. Aku hanya bisa sepi, memendam rasa, menghisap udara panjang-panjang dan berharap teriakan itu segera reda. Sebetulnya aku sudah lelah, namun itu semua aku anggap sebagai nasib sial dimana suatu saat ada jalan keluar yang baik. Bukannya tiada ikhtiar atau kami tidak berbuat agar menghasilkan bayi, hanya saja Tuhan belum mengabulkannya. Boleh jadi karena sama-sama penat dan suasana rumah yang pengap. Sekali-kali perlu penyegaran kembali, mengulang suasana honey-moon nan indah. Ah...!

Aku membeli lahan lima ratus meter persegi di desa Mulyaharja --kaki gunung Salak-- yang udaranya masih sejuk. Di atasnya dibangun sebuah pondok mungil menyisakan halaman luas untuk bertaman bunga. Enam bulan terakhir persil tersebut aku percantik agar asri dan tidak sumpek.

Sudah tiga hari ini aku berasyik-masyuk mereguk segarnya hawa gunung. Udara dingin yang membuatku cepat lapar. Pada senja itu aku dan Nisa bagai muda-mudi sedang kasmaran: saling menyuapkan nila goreng, tumis gabus asin pedas, tahu-tempe bacem, lalapan dan tentunya sambal terasi buatannya.

Malam hening membekukan sumsum, namun tidak bagi pasangan berbunga-bunga. Melampiaskan kerinduan, menyatukan raga di atas ranjang wangi toko. Ia demikian halus menyentuhku, sehalus tubuh langsing yang kujelajahi penuh hasrat. Beberapa kali aku mencapai puncak gelora sampai belulang lepas. Lelah menanam benih untuk menuai buah kebahagiaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun