Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sabar Sajalah...!

9 Oktober 2019   08:50 Diperbarui: 9 Oktober 2019   08:54 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: pixabay.com

Sabar menatap rel, "sewaktu kereta api melintas, aku segera melompat". Kemudian pikiran buruk itu cepat ditepis, banyak orang yang akan melintas. Diantara mereka ada saja yang akan menyelamatkannya. Mati tertabrak kereta tidak jadi, malah hidup menanggung malu!

Beberapa hari Sabar galau tak menentu. Putus harapan memuncak sampai berniat bunuh diri. Mencium bau menyengat cairan racun nyamuk, perutnya sudah merasa mual. Tidak berani mengerat nadi dengan pisau dapur. "Takut sakit...!" Mau memakai tali jemuran, tidak cukup kuat menahan beban badan yang tambun. Maka membenturkan diri ke kereta api yang melesat merupakan keniscayaan.

Sekian tahun lalu Sabar menyukai seorang wanita. Perempuan istimewa: manis, lincah dan mungil. Putra wanita berumur 5 tahun riang gembira setiap kali berkunjung ke rumah kontrakan janda cerai muda itu. Sabar membawa martabak dan mainan. Janji hati akan melamarnya dalam waktu tak terlalu lama.

Keluarga menelpon dari kampung agar Sabar segera pulang, "ibu sedang sakit, ia ingin anak satu-satunya bisa menemani", suara cemas dibalik telpon.

Pulang ke kampung di pulau seberang? Desa penuh kenangan bersama ayah. Sayang almarhum mangkat ketika ia sedang merantau. Tanpa berpikir panjang dipenuhinya permintaan menemani ibu tercinta. Inilah kesempatan berbakti kepada orang tua. Segera setelah berpamitan kepada sang pujaan hati, Sabar terbang menyeberang lautan kembali ke kampung halaman diiringi harapan esok akan kembali.

Tiga bulan Sabar merawat Sang Ibu dengan penuh kasih, sampai tiba waktunya. Ibu dijemput ayah kembali ke tempat asal. Sabar terpukul. Sang wanita pujaan hati mendapat kabar melalui angin. Keluarga berduka selama empat puluh malam.

Setelah masa sedih dilewati, Sabar kembali menapaki riuh-rendah tak berkesudahan. Membawa warisan yang cukup untuk meresmikan hubungan bersama sang pujaan hati dan modal melanjutkan usaha tertinggal. Ibukota banyak berubah semenjak ditinggalkannya. Pertumbuhan beton demikian pesat. Sabar gamang menyaksikan perkembangan kota metropolitan.

Rindunya memucuk. Melesat, rumah kontrakan sang pujaan hati disambangi sambil menenteng mainan dan oleh-oleh dari tanah seberang. Sepi.

"Sudah dua minggu ini kosong, semenjak dia dan anaknya diboyong ke rumah suaminya..... Mereka menikah sebulan lalu" jawab ibu sebelah rumah.

Runtuh sudah semua harapan.

Tidak butuh lama, usaha yang ditinggalkan sempat hidup lalu padam. Berganti ikut teman yang mengiming-imingi laba berlipat, malah tumpukan kardus suplemen kesehatan menjadi debu.

Berbulan-bulan Sabar menyendiri, karena kehilangan sumber kebahagiaan dan keuangan. Setiap menyukai seorang wanita setiap itu pula ia patah hati. Setiap usaha bangkit lantas bangkrut. Sabar depresi, ia berkesimpulan: peluang untuk mendapatkan kebahagiaan dan kemakmuran telah sirna!

Seekor mahluk serba hitam menempelkan gigi bertaring, keluar dari sebuah kepala bertanduk, ke kuping Sabar: "mengapa ragu-ragu? Hanya tinggal melompat ke tengah rel maka kereta cepat segera melumatmu. Tidak akan terasa. Tidak akan terdengar apapun. Selesai pula penderitaanmu".

"Tapi..." Sabar menjawab.

"Tidak ada tapi tapian. Alasanmu ke sini karena hendak mengakhiri nasib sial. Kemalangan yang timbul dari kegagalan demi kegagalan dalam percintaan dan usaha. Penderitaanmu berasal dari asmara tak pernah sampai dan uang yang sudah ludes. Lihat! Kereta --yang akan membawamu kepada kematian yang indah-- telah pergi" cerocos mahluk itu.

Sabar menunduk bimbang.

Peri kecil melayang di telinga kanan berbisik lembut: "Apakah engkau memperhatikan suatu pola yang sama selalu terjadi dalam hidupmu?"

"Apakah itu...?" Sabar lesu.

Mahluk bertanduk mendekatkan gigi runcing ke kuping kiri, "Jangan dengarkan perkataannya. Bukankah sepanjang hidupmu sudah menderita? Ditinggal ayah, ditinggal ibu, ditinggal berkali-kali oleh mereka yang engkau cintai dan kehilangan peruntungan usaha. Memang nasib tidak pernah berpihak padamu. Ayo.....masih ada cara lain untuk mengakhiri semuanya...!!!"

"Yang menentukan nasib adalah dirimu sendiri", peri bersayap putih berbisik, "Setiap mengalami kegagalan, engkau merasa terpukul....depresi karena mengira itu merupakan kesempatan terakhir. Lalu muncul lagi peluang, engkau kejar dan gagal lagi.  Kemudian engkau jatuh cinta lagi, ditolak lagi. Ada peluang usaha lagi, bangkrut lagi. Lihat polanya...!"

Sabar menyimak. Mahluk bertanduk nampak kesal, mengetuk-ngetuk trisula ke jalan.

"Setiap mengalami kegagalan, setiap itu pula muncul kesempatan. Kesempatan lebih baik. Peluang lebih hebat."

Mendung di wajah Sabar menyingkir, berganti dengan terbitnya senyum. Mahluk bertanduk bergegas menghentakkan trisula melompat ke rel, lesap bersama rangkaian kereta api cepat.

"Daripada meratapi masa lalu, ada baiknya percaya diri menyambut hal hebat dan lebih baik yang akan menghampiri. Akan ada percintaan lebih indah dan peluang keuangan lebih menghasilkan. Tiada lagi penderitaan! Setiap yang berakhir dan mati akan berganti dengan hal baru yang lebih baik. Belajarlah cara bersabar menghadapi kegagalan".

~~ Selesai ~~

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun