Pekerjaan yang baru sedemikian menyibukkan sehingga hari Sabtu atau Minggu kadang membuatku masuk. Semakin kemari semakin kerap sebagaimana tanggung-jawabku yang kian membebani. Waktu untuk melabuhkan gelombang rindu jadi berkurang.
Maaf, jika aku terlalu sering menggantungkan keinginan untuk menghalalkan sentuhan. Semakin lama pekerjaan memburu seperti anjing geladak, mendesingkan peluru-peluru melesat ke batok kepala. Untunglah, kemayu staf klienku cukup menghibur.Â
Kadang menemani makan siang di kafetaria dekat kantornya. Kadang makan malam membuaikan sampai kami melakukan perhubungan terkutuk. Disini teramatlah mudah menemukan teman berbagi cinta dalam sekejap.
Kesenangan semu pada akhirnya memporak-porandakan hubungan. Hantaman kejiwaan secara beruntun telah memaksamu memohon untuk berpisah denganku selamanya.Â
Lama setelah sering bercerita kepada malam, baru aku mengerti segala kekeliruan. Kuakui bahwa aku telah melompati batas janji suci kita dan lebih mementingkan ketamakan keinginan dibanding memelihara ikatan bersumpah.
Aku bagai singa kalah.
Terserahlah pandangan sekalian kerabatmu. Minggu depan aku akan datang. Bertekad pada diriku untuk memenuhi undangan merah jambu demi Putri. Ia belum bisa seutuhnya menerima pria itu. Tidak ada satupun lelaki di bumi ini yang mampu menggantikan.
Aku datang khusus untuk mendampingi Putri Anindya --gadis berusia 10 tahun hasil buah cinta sebelum rumah tangga kita porak-poranda-- sebagai ayah kandung yang sungguh amat dicintainya.
Semoga engkau berbahagia dengan pendamping barumu.....
~~ Selesai ~~