Mohon tunggu...
budi prakoso
budi prakoso Mohon Tunggu... Wiraswasta - mari jaga kesehatan

seorang yang gemar berolahraga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tetaplah "Manis" Jangan Menjadi "Sadis"

3 September 2023   05:48 Diperbarui: 3 September 2023   05:52 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu dan Anak - jateng.tribunnews.com

Aksi terorisme sudah menjadi ancaman aktual di Indonesia, keadaan dan situasi hubungan dalam keluarga dapat memberikan peluang akan aksi terorisme yang semakin banyak terjadi. Pelaku serangan yang identik dengan maskulinitas, kini mulai dijajaki kaum perempuan. Pengembangan taktik teror belakangan ini menjadikan wanita sebagai pelaku aktif, peran perempuan dalam jihad semakin terlihat jelas.

Transformasi perempuan dalam serangan teror menunjukkan bahwa kaum hawa, yang selalu diasumsikan sebagai figur yang penuh kelembutan dan kasih sayang ternyata dapat dimanfaatkan oleh kelompok radikal menjadi kejam dan hilang akal. Partisipasi wanita seringkali tidak disangka-disangka menjadikan peluang wanita untuk menjadi pelaku aksi terorisme semakin luas dan sulit ditangani.

Sepuluh tahun belakangan ini keterlibatan perempuan dalam aktivitas terorisme meningkat, peran perempuan bertransformasi dari pendukung menjadi pelaku. Dilansir dari antaranews.com, Ruby Kholifah, Direktur AMAN Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia dalam webinar El Bukhari Institute Agustus 2022 lalu mengutip laporan International Policy Analysis on Conflict (IPAC) menyebut hadirnya internet dan media sosial menjadi penyubur yang efektif dalam meningkatkan keterlibatan perempuan dalam ekstremisme kekerasan. Dalam laporan itu menyebutkan pada periode 2016 hingga 2020, perempuan yang terlibat dalam aksi teror di Indonesia mencapai 32 orang.

Namun demikian, disamping potensi untuk terlibat dalam paham ekstrem, seorang perempuan, khususnya ibu melalui peran tradisional juga dapat melakukan peran sebaliknya yaitu memutus mata rantai kekerasan. Melalui studinya pada sejumlah perempuan yang terlibat pada jaringan teroris di Poso, Azca dan Putri (2021) menyimpulkan bahwa ibu dapat membentengi dirinya dari arus propaganda yang beredar kuat di wilayah konflik, sehingga anak-anaknya terbebas dari ideologi radikal. Sejumlah ibu ternyata mampu menetralisir narasi dan propaganda yang beredar cukup deras di sebuah episenter konflik, sehingga anak-anaknya menjadi lebih toleran dan moderat. Upaya tersebut dilakukan dengan cara membuka dialog secara intensif dan membawa anak-anak ke dalam pergaulan yang lebih inklusif.

Hal tersebut kiranya dapat diterapkan kepada anak-anak yang terkontaminasi paham radikal selain dipengaruhi oleh orang tuanya sendiri atau lingkungan sekitar. Pemahaman orang tua, khususnya ibu mengenai radikalisme dan terorisme harus ditingkatkan mulai dari benih-benih intoleransi, kekerasan, ujaran kebencian hingga perilaku ekstrem. Disinilah dibutuhkan jihad sesungguhnya seorang perempuan, yaitu untuk memutus mata rantai radikalisme dan terorisme dengan menjaga anak generasi bangsa di ruang digital agar mereka terselamatkan dari propaganda ajaran radikal serta membimbing mereka agar memiliki wawasan dan prinsip keagamaan yang inklusif serta anti radikal teroris. Menjadi sangat penting menjangkau para ibu yang memiliki peran vital sebagai navigator sosial, sehingga memiliki kapasitas yang memadai dalam membentengi keluarga dari pengaruh radikalisasi.

Ketahanan sebuah keluarga, di lingkungan manapun mereka tinggal, sangat bergantung dari bagaimana seorang ibu melakukan filter atas norma dan nilai dari luar, untuk kemudian ditransfer melalui narasi lisan dan contoh perbuatan kepada anak-anaknya. Seorang ibu adalah lensa bagi anak-anaknya dalam melihat dunia, oleh karenanya harmoni sosial atas masyarakat yang ber-bhineka tunggal ika harus ditanamkan kepada buah hati mereka melalui pesan-pesan perdamaian untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara.

Meskipun bukan satu-satunya figur yang menentukan dalam penyebaran paham radikal, perempuan memiliki peran kunci, baik dalam membangun narasi positif serta pandangan inklusif sebagai penangkal dan penetralisir narasi kebencian guna memutus mata rantai ekstremisme. Resiliensi yang tercipta pada perempuan akan memberikan dampak ganda: mencegah potensi terjerumusnya perempuan ke dalam lingkaran ekstremisme, sekaligus membekali mereka melakukan peran yang menjadi fitrah seorang ibu, sehingga mampu berperan melakukan deteksi dini atas indikasi radikalisme anak-anak dan suami di level keluarga. Perempuan, khususnya ibu, tetaplah 'Manis' jangan jadi 'Sadis', kelembutanmu adalah kekuatanmu...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun