Mohon tunggu...
budi prakoso
budi prakoso Mohon Tunggu... Wiraswasta - mari jaga kesehatan

seorang yang gemar berolahraga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stop Adu Domba antar Umat Beragama

15 Oktober 2022   22:04 Diperbarui: 15 Oktober 2022   22:19 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bhinneka Tunggal Ika - jalandamai.org

Adu domba pada dasarnya sudah terjadi sejak dulu. Di era kemerdekaan, adu domba yang telah mengantarkan Indonesia terus hidup dalam penjajahan. Belanda paham kalau masyarakat Indonesia bersatu, akan sulit untuk dilawan. Karena itulah salah satu cara yang dilakukan dengan cara melakukan politik adu domba. 

Antar sesama masyarakat bisa saling curiga dan saling bunuh, karena dianggap tangan kanan penjajah. Masyarakat ketika itu akhirnya sadar dan memilih untuk menguatkan persatuan melawan penjajah. Akhirnya, Indonesia bisa terbebas dari penjajah dan merdeka pada 17 Agustus 1945.

Kini, setelah sekian lama berlalu, adu domba nyatanya masih tetap ada. Hanya istilahnya sekarang ini adalah hoaks. Di masa modern seperti sekarang ini, atar sesama bisa saling caci, saling hujat bahkan saling menebar provokasi. Di zaman modern ini, menggunakan kecanggihan dari media sosial untuk menyebarkan berita bohong dan kebencian tersebut. 

Dampaknya juga sama. Antar masyarakat bisa saling curiga. Jika dulu ada penjajah, saat ini ada kelompok radikal yang terus memanfaatkan masyarakt untuk terus gaduh. Tujuannya untuk apa? Agar bisa ada alasan untuk menyerang pemerintah. Dan yang lebih jelas adalah ingin memunculkan khilafah, sebagai solusi atas 'kegaduhan' yang terjadi di masyarakat.

Provokasi ini terus dilakukan hingga saat ini. Bahkan jelang tahun politik, biasanya akan semakin masif dilakukan. Tak jarang provokasi itu memicu amarah publik dan berpotensi melahirkan konflik. Ketika pilkada DKI Jakarta sebelumnya, provokasi bernuansa SARA begitu masif terjadi. 

Aparat kepolisian banyak sekali menetapkan tersangka. Namun hal itu tetap tidak menyurutkan provokasi yang dilakukan. Bahkan beberapa tempat ibadah di Jakarta digunakan juga untuk menyebar provokasi. Salah satunya adalah munculnya spanduk yang menyatakan jika memilih calon yang non muslim, diancam ketika meninggal jenazahnya tidak akan disholatkan.

Hal semacam ini semestinya tidak terjadi, terlebih jelang pilpres 2024. Kita semua harus belajar dari masa lalu. Indonesia punya pengalaman terkait hoaks dan provokasi di dunia maya yang bisa memicu terjadinya konflik. Hal ini tak ada bedanya dengan politik adu domba yang dilakukan penjajah ketika itu. Akibatnya, kita sibuk mencari kesalahan dan kejelekan orang lain. 

Tidak pernah berpikir bagaimana menyatukan perbedaan ini, agar menjadi sebuah kekuatan. Perbedaan bukanlah alasan untuk saling bertika. Perbedaan justru jadi semangat untuk menguatkan tekad.

Negeri ini butuh semangat yang sama. Negeri ini butuh inovasi dari generasi penerusnya, agar tidak saling bertikai satu dengan lainnya. Negeri ini membutuhkan generasi yang bisa saling merangkul, bukan saling memukul. Negeri ini butuh generasi yang saling menghormati, bukan generasi yang saling caci maki. 

Mari hentikan mencari kejelekan dan kesalahan orang lain. Mari saling menebar inspirasi kebaikan, agar negeri ini bisa terus berkembang dan maju seperti yang kita harapkan semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun