Mohon tunggu...
budi prakoso
budi prakoso Mohon Tunggu... Wiraswasta - mari jaga kesehatan

seorang yang gemar berolahraga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

2022, Tahun Toleransi dan Moderasi Beragama

1 Januari 2022   10:49 Diperbarui: 1 Januari 2022   10:52 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
damai itu indah - tribunnews.com

Indonesia memang dikenal sebagai negara yang sangat majemuk. Keanekaragaman suku, budaya, agama dan Bahasa yang melekat di masyarakatnya, menjadi karakter yang tidak ada di negara lain. Karena itulah, kultur yang berkembang di negeri ini tentu sangat berbeda dengan negara lain. 

Budaya saling menghargai, toleransi dan tolong menolong menjadi tradisi yang melekat. Bahkan, dari ujung Aceh hingga Papua, budaya tersebut masih tetap ada.

Namun, dibalik kemajemukan dan toleransi tersebut, masih saja ada duri yang terus ada di negeri ini. Duri yang dimaksud adalah intoleransi. Bibit intoleransi ini menjadi problem yang serius. 

Contoh sederhana adalah maraknya ujaran kebencian diberbagai lini kehidupan. Dari masyarakat biasa hingga politisi, masih bisa kita temukan kebiasaan saling membenci, saling mencaci tanpa alasan yang jelas.

Maraknya ujaran kebencian di tengah masyarakat ini, tidak bisa dilepaskan dengan maraknya propaganda radikalisme yang dilakukan oleh kelompok radikal di media sosial. 

Kelompok ini terus memanfaatkan perkembangan zaman, untuk menebar bibit radikalisme. Memang tidak secara langsung, cara penyebarannya pun dilakukan dengan cara yang sangat sederhana, yaitu berawal dari kebencian.

Ketika kebencian itu sudah terbentuk, setelah itu mulai disusupkan sentimen agama didalamnya. Tak jarang juga diselipkan penafsiran yang salah tentang ayat-ayat suci. 

Akibatnya, ketika hal tersebut disebarluaskan, masyarakat yang tingkat literasinya rendah akan mudah terpengaruh. Kondisi semakin runyam, ketika informasi yang menyesatkan tersebut juga disebarluaskan tanpa adanya cek dan ricek terlebih dulu.

Tidak sedikit penyebaran bibit intoleransi itu memicu terjadinya konflik di tengah masyarakat. Apalagi ketika isu agama dihembuskan. Mayoritas merasa terganggu, akibatnya memicu terjadinya intoleransi pada kelompok minoritas. 

Dan sepanjang 2021 yang lalu, praktek semacam ini masih terjadi. Begitu mudah orang mengatakan kafir, hanya karena persoalan perbedaan. Begitu mudah orang mengatakan sesat, hanya karena berbeda keyakinan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun