Mohon tunggu...
Budi Kurniawan
Budi Kurniawan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung

Pemerhati ekonomi-politik dan kebijakan publik, meraih gelar master public policy dari The Australian National University

Selanjutnya

Tutup

Money

Mitos Keunggulan Komparative dan Kegagalan Industrialisasi Indonesia

23 April 2016   14:57 Diperbarui: 23 April 2016   15:14 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

oleh: Budi Kurniawan

Dalam banyak buku teks ekonomi, teori comparative advantage dari David Ricardo adalah dasar mengapa kita perlu melakukan Spesialisasi dalam berdagang. Spesialisasi ini diperlukan agar terjadi effisiensi bahwa negara harus fokus memproduksi apa yang menjadi spesialisasinya. Spesialisasi itu dihitung dari seberapa besar biaya kesempatan atau opportunity cost dengan model kurva Production possibility frontier ( PPF ) yang sudah kita maklum di teks book buku ekonomi. Permasalahannya kemudian apakah comparative advantage itu memang benar-benar model yang membuat negara-negara sama-sama makmur dan sejahtera ?

Dalam bukunya Bad Samaritans (2007), Ha Joon Chang menjelaskan bagaimana proses industrialisasi terjadi di negara-negara maju di dunia melalui mekanisme proteksi ketika industri itu berupa infant industry. Jika benar-benar menerapkan perdagangan bebas dengan mekanisme keunggulan komparative, maka hari ini bisa dikatakan Jepang hanya akan jadi pengekspor kain sutera ketimbang mobil Toyota. Jepang hari ini menjadi negara yang sukses industrinya baik otomotif dan barang elektronik tidak lepas dari peran pemerintah untuk melakukan proteksi infant industri otomotif ketika industri itu mulai dikembangkan.

Jika pada saat itu Jepang mengikuti saran para ekonom IMF dan Bank Dunia dengan fokus pada industri sutera karena itulah keunggulan komparatif nya maka bisa dikatakan Jepang hari ini berbeda dengan Jepang yang real saat ini. Untungnya pemerintah Jepang membailout Toyoped (cikal bakal toyota ) yang bangkrut karena kalah bersaing dengan produk AS dan Eropa dan kemudian melakukan proteksi pasarnya dari serbuan mobil Amerika dan Eropa.

Hal yang sama terjadi dengan Korea, jika hari ini Korea mengekor pakar ekonomi orthodox maka kita tidak akan mengenal yang namanya mobil Kia dan Hyundai. Yang kita akan kenal Dari Korea Selatan sebagai keunggulan komparatifnya adalah ginseng dan rambut palsu. Membuat rambut palsu adalah keunggulan komparatif orang Korea pada saat mereka mau memulai indutrialisasi. Namun, Korea Selatan memilih jalan berbeda, mereka justru membangun industri mobil dan eletronik. Siapa hari ini tidak kenal dengan samsung ? Keunggulan Korea ini bahkan melampaui Indonesia yang pada tahun 1960 an masih sama-sama menjadi negara yang berhutang dengan Bank Dunia.

Apakah proteksi hanya dilakukan oleh negara-negara Asia ? atau apakah negara-negara Barat sukses menjadi negara maju dikarenakan fokus kepada comparative advantage mereka dan pasar bebas ? Jawabannya sangat jelas tidak. Amerika Serikat hari ini menjadi negara maju setelah sebelumnya melakukan proteksi. AS adalah negara yang sangat tertutup bahkan sampai berakhir perang dunia kedua. Adalah Alexander Hamilton, menteri keuangan Amerika yang menjadi bapak dari proteksi itu sendiri. Teori infant industry protection justru berasal dari beliau yang juga founding father Amerika ini. Jadi adalah wajar jika hari ini Amerika bicara pasar bebas setelah membesarkan industri mereka.

Hal yang sama juga terjadi di Eropa seperti Inggris, Jerman dan Prancis. Negara ini maju bukan karena fokus pada comparative advantagenya tetapi karena proteksinya. Jika Prancis fokus pada keunggulan komparatif maka Prancis hanya akan fokus membuat wine, Inggris fokus membuat kain wool, dan Jerman hanya akan membuat tekstil dan menjual bahan mentah karena itulah keunggulan mereka ( Chang, 2002: 13-58)

Namun yang terjadi kemudian mereka tidak percaya dengan teori keunggulan komparatif dan kemudian berusaha membangun industrialisasi dengan melakukan proteksi baik berupa tarif maupun quota yang dalam teks book buku ekonomi sangat diharamkan.

Bagaimana dengan Indonesia, mengapa Indonesia gagal menjadi negara industri baru seperti tetangganya di Asia ? Dalam kuliah umumnya di ANU Canberra, menkeu zaman SBY, Chatib Basri bercerita sebenarnya Indonesia pada era pasca bonanza minyak menyadari bahwa Indonesia tidak bisa bergantung lagi dengan raw material seperti minyak. Maka mulailah orde baru melakukan diversifikasi dengan beralih ke indutrialisasi. Namun industrialisasi itu menjadi jalan di tempat setelah reformasi. Sekali lagi booming kelapa sawit dan batu bara membuat para pengusaha Indonesia beralih dan kembali berpikir instant.

Jika hari ini kita merasakan kerusakan lingkungan karena batu bara dan sawit ditambah semakin tingginya ketimpangan ( index gini tertinggi dalam sejarah ) maka itu karena booming raw material tersebut. Jika basis pertambangan dan perkebunan itu rakyat maka rakyat dapat rezekinya. Namun booming itu hanya dinikmati sekelompok orang kaya dan segelintir politikus yang dapat uang suap dari HGU hutan untung tambang dan perkebunan. Oleh sebab itu tidak heran pertumbuhan ekonomi tinggi di zaman SBY dan di sisi yang lain index gini semakin tinggi yang berarti inequality semakin parah pula ditambah industrialisasi yang gagal.

Sebagai penutup jika hari ini Indonesia berfokus pada keunggulan comparative nya maka jalan instant rezim SBY dah betul, pertumbuhan ekonomi tinggi dari ekspor sawit dan batu bara. Tetapi yang menikmati ya mereka yang kaya, sedangkan kita hanya menerima asap hasil pembakaran sawit, mati listrik akibat batu bara diangkut ke China dan kerusakan lingkungan akibat penambangan. Untuk itu perlu ada usaha membangun industri diluar ekspor raw material. Jalan inilah yang ditempuh Korea dan Jepang dan sedang diikuti China dan Vietnam. Ketika industri sudah besar maka membuka pasar bebas adalah solusi karena proteksi terlampau lama juga tidak sehat. Inilah yang kemudian dilakukan Amerika, berani bicara pasar bebas ketika industrinya sudah besar tidak bayi lagi. Jadikan comparative advantage hanya sebagai peta keadaan industri kita bukan solusi itu sendiri ( Lin dan Chang,2009)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun