Mohon tunggu...
Budi Kurniawan
Budi Kurniawan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung

Pemerhati ekonomi-politik dan kebijakan publik, meraih gelar master public policy dari The Australian National University

Selanjutnya

Tutup

Money

Adakah Free Market itu ?

22 April 2016   21:47 Diperbarui: 23 April 2016   09:57 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Dalam banyak literatur teks book ilmu ekonomi, para ekonom percaya akan bekerjanya mekanisme pasar. Oleh sebab itu kemudian intervensi pemerintah dalam bentuk apapun seperti tax, price cycling, price floor akan membuat inefisiensi yang kemudian diistilahkan dengan deadweight loss. Pertanyaannya benarkah asumsi ini ? atau apakah klaim ini sejatinya benar-benar ada dalam kehidupan nyata ?

Ekonom neo-clasic, dan pendahulunya ekonom classic percaya bahwa free market adalah kondisi dimana bekerjanya the invisble hand melalui mekanisme laisez faire. Namun pada kenyataanya tidak ada yang disebut free market itu. Dalam bukunya 23 things they dont tell you about capitalism, Ha-Joon Chang telah memberi contoh-contoh menarik mengapa tidak ada pasar yang benar-benar bebas yang semakin memperkuat bahwa pasar bebas itu sebenarnya hanyalah mitos.

Contoh pertama bahwa dalam pasar hari ini tetap ada peran pemerintah melalui regulasi yakni tentang siapa yang boleh masuk dan keluar. Chang mencontohkan dengan adanya aturan di pasar tenaga kerja tentang larangan anak-anak bekerja. Dahulu di masa revolusi industri anak-anak diperbolehkan bekerja. Namun seiring dengan waktu dan dengan pertimbangan kemanusiaan dan moral, pemerintah kemudian melarang anak-anak bekerja.

Jika benar-benar menjunjung teori pasar bebas seharusnya biarkanlah mekanisme pasar bekerja, jangan larang anak-anak bekerja. Masuknya anak-anak ke pasar tenaga kerja atau tanpa perlunya ada aturan jika memakai logika ekonom neo-classical pasti akan membuat pasar tidak effisien. Akan ada total surplus yang berkurang. Jika kita menggunakan Kurva maka hal ini sama saja dengan apa yang disebut dengan quota yang akan menciptakan inefisiensi dan kerugian bagi consumer karena mereka tidak dapat mempekerjakan tenaga buruh yang murah.

Namun tentu saja hal ini tidak pernah disebutkan dalam teks book ekonomi yang orthodox. Dalam text book selalu dipercaya bahwa pasar yang tidak ada intervensi pemerintah adalah yang terbaik. Pasar sebenarnya pasti punya aturan dan batasan yang dibuat oleh otoritas dalam hal ini pemerintah.

Melihat pasar bebas sebenarnya seperti melihat bintang film Saur Sepuh terbang. Kita percaya dia terbang namun pada kenyataannya dia tidaklah terbang, ada kawat piano yang tidak kelihatan secara kasat mata. Yang salah kemudian banyak orang percaya bahwa dia benar-benar terbang, padahal kenyataanya ada kawat piano yang menggantung yang membuat dia terbang. Lalu apa sikap penonton yang baik ? Sikap yang baik adalah menikmati pertunjukan dengan tetap tidak tertipu bahwa itu tidak nyata ada kawat piano yang membantu.

Apa yang terjadi jika pasar benar-benar bebas tanpa aturan. Dalam pasar tenaga kerja yang terjadi akan ada upah buruh yang sangat rendah jika itu diterapkan. Banyaknya populasi masyarakat Indonesia kan membuat supply tenaga kerja akan berlimpah. Supply berlimpah maka yang kemudian terjadi adalah murahnya gaji atau upah. Dalam kehidupan nyata Dalam pasar gelap tenaga kerja kita masih menemukan pembantu rumah tangga yang hanya dibayar jauh dari UMR. 

Seorang rekan dosen misalnya pernah bercerita dia membayar pembantu rumah tangga hanya sebesar 800 ribu rupiah. Hal ini tentu sangat jauh dibawah aturan UMR. Tanpa UMR (dalam hal ini dikatagorikan sebagai price cycling ), maka bisa jadi harga equilibrium pasar tenaga kerja adalah sebesar 800 ribu itu. Namun kemudian karena alasan kemanusiaan maka pemerintah dirasa perlu melakukan regulasi terhadap pasar. Ini jelas bentuk intervensi pasar yang diperlukan.

Dampak kedua jika ini benar-benar diterapkan maka akan banyak anak-anak yang meninggalkan bangku sekolah karena membantu orang tua mencari kerja. Dampak jangka pendeknya adalah mungkin meningkatkan daya beli masyarakat namun bisa dibayangkan dampak jangka panjangnya. Karena memikirkan tentang rasa kemanusiaan dan moral serta berpikir jangka panjang bahwa anak-anak akan lebih baik ke sekolah dan menjadi dokter nantinya daripada meninggalkan bangku sekolah hanya untuk bekerja, maka pemerintah kemudian mewajibkan anak-anak sekolah.

Sebagai kesimpulan yang kita butuhkan sebenarnya adalah bukan free market tetapi fair market. Bicara fair maka perlu regulasi nah disinilah peran pemerintah sebagai otoritas memegang peranan. Kita butuh aturan untuk menegakan nilai-nilai moral bukan aturan yang malah menghambat kreatifitas apalagi hanya untuk kepentingan politik. Untuk itu dalam melihat masalah apakah peran pemerintah perlu meregulasi pasar atau seberapa besar intervensi pemerintah terhadap pasar maka hal ini sangat tergantung dengan konteks. Kita tidak perlu fanatik bahwa pemerintah pasti benar atau di sisi lain pasarlah yang paling benar. Dalam konteks pasar tenaga kerja justru peran pemerintah diperlukan. Dalam konteks yang lain subsisi BBM misalnya, intervensi terhadap pasar dengan subsidi harga malah berakibat buruk pada pemborosan, polusi dan minimnya inovasi bidang tranportasi dan energi. Wallahu 'alam.

Referensi

Chang, H. J. (2012). 23 things they don't tell you about capitalism. Bloomsbury Publishing USA

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun