Mohon tunggu...
Budhi Kusuma Wardhana
Budhi Kusuma Wardhana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pekerja kantoran yang suka baca, penikmat sastra dan teater, menggemari fotografi, mencintai traveling demi sebuah reportase. Baginya menulis adalah bentuk aktualisasi diri, seperti kata Filsuf Perancis Rene Descartes, Cogito Ergo Sum, yang kemudian diplesetkan menjadi, "Aku Nulis, Maka Aku Ada!". Bisa ditemui di Facebook : budhi.wardhana, Twitter : @budhiwardhana, dan email : budhi.wardhana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Sawarna, Menelusuri Surga Tersembunyi yang Sarat Warna

11 Februari 2012   15:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:46 1653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_170253" align="aligncenter" width="670" caption="Pantai Tanjung Layar di Pagi Hari / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption]

Di balik terjal perbukitan, jalan yang berkelok naik turun, dan rerimbun hutan jati, tersimpan pesona alam yang menawan. Inilah surga tersembunyi yang bernama Sawarna!

Senja yang muram ketika hujan deras mengguyur Jakarta menjelang jam pulang kantor. Seperti biasa seusai hujan senantiasa menyisakan kemacetan parah yang memuakkan. Dari tahun ke tahun ibukota tampaknya belum bisa menyembuhkan penyakit kronis ini. Mobil berderet-deret menyesaki jalan. Sementara motor-motor laksana lebah menyelip dari sisi kiri dan kanan tanpa peduli aturan. Udara kota dikotori oleh polusi asap knalpot kendaraan. Lalu lintas bergerak demikian lambat diselingi teriakan klakson memekakkan telinga. Jumat 3 Februari 2012, saya menyaksikan pemandangan ini dari dalam bus Transjakarta yang penuh sesak. Laksana ikan sarden saya berdiri dihimpit ratusan penumpang yang beraneka aroma menuju Terminal Bis Kampung Rambutan. Dengan tangan kiri memeluk backpack yang menggantung di dada, satu tangan lagi memegang erat tiang besi demi menjaga keseimbangan. Namun tampaknya hal itu tak membuat saya benar-benar stabil berdiri. Berulang kali saya dibuat terhuyun huyun jika sopir bis mendadak menginjak rem atau menekan pedal gas semena-mena. Sungguh posisi yang tak nyaman. Dan saya tak mampu berbuat banyak selain merutuki dalam hati. Sepintas saya memandangi orang-orang sekitar. Manusia yang terhimpit-himpit di busway sepulang beraktivitas ini mungkin berpikiran serupa. Mereka pastilah ingin sesegera mungkin melepaskan penat kerja. Ya, tak terkecuali diri saya sekarang. Saya pun rela berdesak-desak demi melunaskan mimpi untuk menikmati akhir pekan yang jauh dari pikuk kemacetan. Sejenak melupakan kesemrawutan, beban-beban pekerjaan, dan kepenatan kantor. Ke pesisir selatan Banten saya meggantungkan harap untuk mencari ketenangan. Tepatnya ke sebuah desa kecil dalam teritori Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak. Ke sebuah tempat bernama Sawarna. [caption id="attachment_170256" align="aligncenter" width="670" caption="Keelokan Pantai di Sawarna / Foto : Budhi K. Wardhana"]

132897192925551137
132897192925551137
[/caption] Malam sudah beranjak. Di sebuah warung bakso depan Terminal Kampung Rambutan Jakarta, saya bersama beberapa anggota Forum Komunitas Backpacker Indonesia sudah berkumpul menunggu pemberangkatan. Jarum pendek jam sudah menunjuk lebih dari angka sepuluh. Jika mengacu ke jadwal, seharusnya kami sudah meninggalkan Jakarta. Tapi tampaknya kami masih menunggu beberapa peserta yang terlambat dengan alasan klasik, macet. Tak lama berselang rombongan pun sudah lengkap dan siap diberangkatkan. Beberapa rekan tampak membopong bawaan yang tak biasa banyaknya. Selidik punya selidik ternyata mereka adalah fotografer profesional yang membawa lengkap peralatan fotografinya, tentunya dengan tripod dan aneka lensa serta filter. "Saya ingin menciptakan foto yang indah di sana," ujar Afriandi Syahfril atau lebih sering dipanggil Adri, salah seorang peserta saat mengomentari banyaknya peralatan yang digendongnya. Setelah melakukan pengecekan terakhir, minibus yang kami tumpangi mulai bergerak menyusuri Tol Jakarta Outer Ring Road (JORR)ke arah Tangerang. "Kita akan menempuh jalur barat," ucap Cendy Octhavya sang penggagas sekaligus pemimpin perjalanan menerangkan. Selintas saya melirik arloji di tangan, pukul sebelas lebih sedikit. Saya berharap mudah-mudahan pukul enam pagi kami sudah sampai Sawarna. Sesudahnya saya tak lagi ingat apa-apa. Kantuk melelapkan saya dalam sekejap. [caption id="attachment_170258" align="aligncenter" width="670" caption="Perkebunan Kelapa di Sepanjang Pantai Sawarna / Foto : Budhi K. Wardhana"]
13289721091932912356
13289721091932912356
[/caption] Pagi masih terlalu dini saat saya terbangun setelah kepala terantuk kaca jendela bis. Saya menyesal mengapa memilih tempat duduk paling belakang di mana guncangannya paling kuat terasa. Ternyata jalur barat memang tak terlalu bersahabat. Hujan yang mengguyur sepanjang malam menyisakan kubangan-kubangan di jalanan yang rusak. Apalagi penerangan sangatlah minim. Berkali-kali bis terasa sempoyongan melalui jalan berlubang hingga membuat kami terguncang-guncang hebat. Selanjutnya saya sulit memejamkan mata lagi. Dari sebuah artikel di majalah Getaway, Sawarna dapat dicapai dari ibukota melalui dua cara. Rute pertama dikenal sebagai jalur timur yang menelusuri Tol Jagorawi, Ciawi, Jalan Raya Sukabumi, Cibadak, Cikidang, Pelabuhan Ratu, Cisolok, dan Sawarna. Sedangkan jalur barat melalui Tol Jakarta-Merak, Serang Timur, Pandeglang, Jalan Raya Labuhan, Jalan Raya Sindangsari Rawasari, Jalan Raya Saketi Malingping, Malingping, Bayah, dan Sawarna. Meski keduanya memiliki jarak tempuh yang hampir sama, tidak disarankan melalui jalur barat di malam hari lantaran kondisi jalan yang rusak dan masih jarang perumahan penduduk, pompa bensin, tempat istirahat, dan bantuan darurat. Tapi nasi sudah jadi bubur. Alhasil, kondisi jalan yang rusak dan gelap membuat sang sopir tak berani melajukan kendaaraannya kencang-kencang. Hasilnya pun bisa ditebak. Dengan kecepatan laksana siput ditambah beberapa kali nyasar, maka waktu perjalanan yang biasanya ditempuh dalam enam sampai tujuh jam ternyata molor menjadi sembilan jam! Akhirnya, setelah menembus jalanan berliku dan naik turun di tengah barikade hutan jati, tibalah kami ke tujuan, Desa Sawarna. Inilah surga tersembunyi. Suatu julukan yang kerap disandingkan lantaran letaknya yang memencilkan diri. [caption id="attachment_170259" align="aligncenter" width="670" caption="Spanduk Selamat Datang di Kawasan Wisata Desa Sawarna / Foto : Budhi K. Wardhana"]
1328972269330010572
1328972269330010572
[/caption] Mendung masih menggantung di langit pagi. Matahari tampak urung menyapa meski waktu sudah menunjuk pukul delapan. Wajah-wajah penat sisa perjalanan semalam perlahan berubah berseri tatkala satu per satu dari kami memasuki gerbang desa. "Selamat Datang di Kawasan Wisata Ramah Lingkungan, Desa Sawarna". Begitulah kalimat yang terpampang di ujung jalan. Selanjutnya, jembatan gantung akan menyambut para pengunjung menuju perumahan penduduk, guest house, dan wilayah pantai yang permai. Sampailah kami semua di Guest House Java Beach. Sejenak kami menyimpan perbekalan, membasuh badan, makan siang, dan rehat sebentar. Java Beach memang dirancang khusus sebagai rumah penginapan dengan beberapa kamar dan bungalow. Di sekitarnya tersedia pula guest house serupa. Bahkan ada beberapa rumah penduduk yang disulap menjadi tempat menginap. Kebetulan kami datang di akhir minggu dan bisa ditebak guest house serta rumah-rumah penginapan itu begitu padat pengunjung. Ya, weekend is the busiest day in Sawarna. Setelah beristirahat beberapa saat, sang ketua rombongan sudah memanggil-manggil kami untuk mempersiapkan diri menjelajah alam Sawarna. "Kita akan mengunjungi Gua Lalay," teriak Cendy yang memang terbiasa memimpin perjalanan wisata bagi para turis berkantong minim. [caption id="attachment_170260" align="aligncenter" width="670" caption="Jatuh Bangun Terpeleset Saat Menuruni Jalanan Yang Licin / Foto : Budhi K. Wardhana"]
13289724301801176938
13289724301801176938
[/caption] Perjalanan menuju gua ini kurang dari sejam berjalan kaki. Penelusuran yang mengasyikkan karena kami harus menyeberangi sungai, melewati pematang sawah, dan menyisir jalan setapak yang licin. Yono, seorang pemandu yang juga warga desa Sawarna, menjelaskan bahwa Gua Lalay adalah gua bawah tanah yang panjangnya tak lebih dari tiga ratus meter. Memasuki gua ini kita akan disergap oleh kegelapan yang mencekam. Karenanya segera persiapkan penerangan seperti lampu senter yang memadai. Di dalamnya ada aliran sungai jernih yang mengalir tiada henti mengairi areal persawahan desa. Lalay dalam bahasa Sunda bermakna kelelawar sebab di tempat inilah ribuan mamalia malam itu bersemayam. Saya tak henti-hentinya mengagumi arsitektur stalaktit yang menggantung sempurna di atap gua. Namun tak sampai dua puluh meter menjelajah ke dalam, Yono meminta kami segera keluar gua karena khawatir di saat yang sama hujan turun di daerah hulu hingga menyebabkan limpahan air ke dalam gua. Penelusuran pun berlanjut menuju ke pinggiran laut. Dari Gua Lalay kami menyisir medan yang sangat menantang. Kembali kami harus menyeberang sungai, mendaki lereng, dan berlanjut menuruni punggung perbukitan. Medan yang curam dan licin cukup membuat beberapa peserta jatuh bangun terpeleset. Tak apalah, penderitaan akibat perjalanan ini langsung terbayar lunas demi menyaksikan kecantikan pantai yang menghadap ke Samudera Hindia. [caption id="attachment_170261" align="aligncenter" width="670" caption="Pengunjung Bapak dan Anak di Pantai Ciantir Sawarna / Foto : Budhi K. Wardhana"]
1328972636471356576
1328972636471356576
[/caption] Sawarna adalah satu desa yang dikaruniai empat lokasi pantai nan eksotik, Pantai Karang Taraje, Legon Pari, Tanjung Layar, dan Pantai Ciantir. Tentunya masing-masing memiliki karakteristik dan keindahan tersendiri. Karang Taraje dan Tanjung Layar adalah pantai yang dipenuhi batu-batu karang berukuran besar. Tuhan seakan menempatkan karang-karang itu sebagai benteng Sawarna dari gempuran gelombang samudera yang tiada henti. Anehnya, tak jauh dari dua tempat tersebut menghampar dua pantai pasir putih yang sungguh menawan, Legon Pari dan Ciantir. Legon Pari adalah pantai berpasir putih berombak jinak. Tak heran di sini banyak ditambatkan kapal-kapal nelayan yang tidak melaut. Sementara itu Ciantir memiliki ombak liar yang menggila. Karenanya, para peselancar sering memanfaatkannya sebagai tempat adu nyali demi menaklukan gelombang samudera yang menggunung. Ega, seorang gadis penjual makanan di pinggir pantai menceritakan suasana Pantai Ciantir di sekitar Bulan Juni dan Juli. "Saat itu banyak sekali bule yang datang untuk berselancar," ucap gadis manis yang baru lulus Sekolah Menengah Kejuruan di Bayah Kabupaten Lebak. Selain Ciantir, dia menambahkan bahwa spot yang paling diburu para pengunjung adalah Pantai Tanjung Layar yang memiliki keistimewaan dua buah karang raksasa. "Di tempat ini biasanya para pengunjung berfoto dan berburu matahari terbenam." Dan senja itu saya menjadi saksi keindahan matahari yang tergelincir di ufuk barat Pantai Tanjung Layar. Sungguh mengagumkan! Selanjutnya malam perlahan hadir merengkuh kami semua yang tengah menghayati makna keelokan alam. Beberapa rekan masih asyik bergitar ria sambil menikmati barbeque jagung bakar. Sementara saya justru sudah dipeluk mimpi dan kelelahan. [caption id="attachment_170262" align="aligncenter" width="670" caption="Surya Tenggelam di Pantai Tanjung Layar Sawarna / Foto : Budhi K. Wardhana"]
13289727721517396087
13289727721517396087
[/caption] Esok pagi adalah hari yang demikian cerah. Saya pun menyempatkan diri menyusuri Pantai Ciantir dan Tanjung Layar di awal hari. Beberapa wisatawan tengah asyik mengumpulkan kerang. Sementara saya sibuk menikmati beningnya air laut yang menampakkan bebatuan karang dengan ikan-ikan kecil yang berenang di sela-selanya. Sejenak saya biarkan riak ombak kecil menjilati telapak kaki. Pagi yang indah. Angin laut yang sepoi-sepoi terasa membelai-belai rambut. Saya berjalan di pinggiran pantai, di bawah lambaian pohon kelapa yang diselingi tanaman tumpang sari. Sesekali saya bertemu dengan warga Sawarna yang ramah, sederhana, dan murah senyum. Beberapa nampak sedang memanen palawija bersama-sama di ladangnya. Suasana yang sangat guyub dan bersahaja. Dan saya merasa nyaman tinggal di sini. Bagi saya Sawarna bukanlah keelokan alam semata. Lebih dari itu, keramahan penduduknya, kesederhaaan hidup, dan kearifan lokal telah memadukan segalanya menjadi aneka warna keindahan. Di sinilah beragam warna itu mencipta sebuah harmoni kehidupan. Namun, akankah surga ini akan tetap bertahan di tengah gerusan jaman yang serba materialistis? Apakah sawah dan ladang itu akan senantiasa ada dan tidak berubah menjadi hotel berbintang dan lahan komersial? Saya hanya menghembuskan nafas panjang, meninggalkan Sawarna sambil menyisakan sejejak harap. [caption id="attachment_170265" align="aligncenter" width="670" caption="Penduduk Desa Sawarna / Foto : Afriandi Syahfril"]
1328972904799751312
1328972904799751312
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun