"terus ..."
"aku rasa tak perlulah dengan sanksi mempersulit pemberian izin administrasi bagi yang menunggak, karena bagaimana pun pemerintah berkewajiban melayani administrasi warganya, carilah sanksi yang lebih masuk akal dan tak jadi bahan pergunjingan"
"terus ..."
"aku khawatir akan seperti apa anakku tumbuh di negara ini, banyak fitnah dimana-mana, orang berebut kebenaran seolah pemikirannya yang layak untuk di terapkan, si anu mengatakan kelompok ini anti pancasila, si itu mengatakan kelompok anu anti syariat, di sebelah sana berteriak NKRI harga mati, di sebelahnya lagi berteriak khilafah, sementara si kaya sibuk menumpuk harta, pejabat lebih suka cari sensasi ketimbang substansi, membahas celana cingkrang dan cadar lebih utama ketimbang kemakmuran, menguras hasil alam tanpa peduli lingkungan, saling serang, keadilan mati di tanah ini dan sebentar lagi mungkin kemanusian juga ikut mati bersamanya"
"terus ..."
"si miskin sibuk membela panutannya sambil merangkak mencari rezeki dan si kaya bertepuk tangan melihat siasatnya terlaksana"
"TERUS ..." si istri berteriak kencang, Tarono membatu.
"TERUS ..., apa manfaatnya buat kita memikirkan negara dan segala permasalahannya, hidup kita sudah susah mas, besok kita harus keluar dari kontrakan karena sudah menunggak tiga bulan, besok kita harus makan apa karena sudah tak ada lagi yang bisa di masak, besok ...... Â besok entah apa aku masih kuat bertahan hidup denganmu, aku lelah mas, hampir setiap hari mendengar ocehanmu tentang negara-negara tanpa pernah mencari solusi untuk keluarga, jika memang presiden, menteri, gubernur, anggota DPR, pejabat dan orang-orang di pemerintahan atau pun lawannya menurutmu tidak becus kerja, biarkan saja. Jangan jadi seperti mereka karena tak becus juga menafkahi keluarga"
Hening, sendi-sendi Tarono melinu, lemas. Rasanya ingin mati saja.