Mohon tunggu...
Ahmad Budairi
Ahmad Budairi Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Pecinta kopi dan gadis cantik. Semacam pengelola blog www.nusagates.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

5 Hal yang Kulakukan untuk Memberantas Hoaks Jika Jadi Menag

24 Juli 2018   04:41 Diperbarui: 25 Juli 2018   08:27 1014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Jujur saja, ini adalah pengandaian yang luar biasa. Menjadi Menag tentu saja harus memiliki keilmuan, pengetahuan, dan wawasan keagamaan yang mumpuni dan aku sadar diri belum memilikinya. Namun berandai-andai bukanlah sesuatu yang dilarang asal tetap tahu diri. Jadi, dibuat santai saja. Itung-itung ikut menyumbangkan ide bagi para pembaca Kompasiana.

Hoax dan ujaran kebencian (selanjutnya disebut konten negatif) tidaklah selalu dibuat karena motif kebencian, sentimen terhadap agama, golongan, ras, atau suku tertentu. Akan tetapi, keduanya sering kali digunakan sebagai alat untuk mendapatkan pundi-pundi uang melalui program afiliasi penjualan produk, periklanan, jualan fanspage Facebook, mendapatkan subscriber Youtube, dan lain-lain. Tujuan utama pembuatnya adalah provit oriented. 

Para pembuat konten negatif memanfaatkan kerumuan (crowd) yang ada di media sosial untuk menyebarkan benih konten negatif. Fitur untuk menganalisa demografi pengguna yang disediakan oleh sosial media dijadikan peluang untuk menyajikan konten negatif sesuai dengan selera masing-masing. Terlebih lagi jika hal ini dipadukan dengan iklan berbasis minat maka penyebaran konten negatif itu akan sangat cepat dan masif.

Pembuat konten negatif yang sadar data demografi akan lebih cepat menguasai pasar. Mereka mampu menggunakan data-data demografi dan minat untuk menyajikan konten negatif yang melibatkan sentuhan psikologi dan perasaan. Hal ini yang akan menggugah pengguna sosial media tertarget merasa tertarik untuk menyebarkannya.

Berdasarkan uraian di atas maka jika aku menjadi Menag maka akan melakukan hal-hal berikut ini untuk memberantas konten negatif yang tersebar di media sosial.

Pertama, bekerjasama dengan menkominfo untuk menertibkan situs atau blog yang suka menggunakan clickbait (selanjutnya ditulis klikbait) untuk mendapatkan trafik. Apa hubungannya clickbait dengan konten negatif? Salah satu unsur yang paling sering digunakan pada teknik klikbait adalah melebih-lebihkan suatu hal (hiperbolis). 

Secara psikologis, orang yang sudah terbiasa membaca konten yang disajikan melalui teknik klikbait akan merasa biasa saja atau tidak merasa janggal dengan adanya berita atau kabar yang sebetulnya tidak masuk akal. Dari sini lah awal dari konten negatif bisa masuk ke dalam daftar bacaan selanjutnya.

Kedua, menertibkan atau menghukum pengelola blog, fanspage, channel Youtube atau platform lainnya yang banyak digunakan oleh masyarakat di Indonesia jika pengelola tersebut menyajikan konten yang menjurus ke provokasi menggunakan sentimen agama. Iya! Meskipun sudah ada undang-undang yang mengatur tetapi jika aturan itu tidak diberlakukan secara tegas ya sia-sia belaka to. 

Kalau cuma blokir ini dan itu sih gampang. Tapi ya jangan lupa kalau duplikasi konten itu juga gampang. Teknologi host to host atau menggunakan API (Application Programming Interface) tertentu mampu menduplikasi konten hanya dengan hitungan menit saja. Jadi, penertiban ini akan meliputi semacam pembuatan sertifikasi layak membuat konten keagamaan bagi pengelola blog, fanspage, channel Youtube dan lainnya.

Ketiga, menangkap semua pembuat konten negatif untuk memberdayakannya. Ada seseorang yang bilang bahwa hoax itu dibuat oleh orang pintar yang jahat dan disebarkan oleh orang bodoh yang baik. Jika menggunakan kaidah itu maka sebetulnya pembuat konten negatif adalah orang-orang yang pintar yang potensi untuk diberdayakan dan diarahkan untuk menjadi motor kebaikan. 

Jadi ketika mereka sudah ditangkap maka hukuman yang berlaku bukanlah penjara melainkan hukuman untuk menetralisir dampak konten negatif yang ditimbulkannya dengan pengawasan yang ketat. Logikanya adalah jika dia melakukan perilaku yang berdampak negatif pada masyarakat maka hukumannya juga harus berdampak pada masyarakat. Jika ternyata mereka tidak mampu menangkal hasil dari kejahatannya sendiri maka ia harus menjalani prose hukuman pada poin nomor empat.

Keempat, pembuat konten negatif yang sudah sangat sulit untuk diajak bekerjasama maka perlu dikirim ke pondok pesantren, biara, vihara, atau tempat untuk menempa kepribadian yang ketat. Mereka disuruh mengabdi di sana dalam jangka waktu tertentu dan diawasi dengan ketat. 

Di sana dia tidak hanya disuruh belajar materi agama akan tetapi disuruh mengabdi untuk berjalannya peribadatan dan pendidikan di sana. Sampai kapan? Sampai guru ruhani (mursyid jika dalam agama Islam) mengijinkan ia kembali untuk turun gunung.

Kelima, Membuat situs pusat tabayun (tabayun center). Situs ini digunakan khusus untuk siaran pers bagi mereka yang menjadi objek utama dari serangan konten kebencian. 

Situs ini memiliki tim yang secara aktif mencari konten negatif kemudian jika menemukannya langsung menjadi mediator tabayun kepada orang atau kelompok yang bersangkutan. Hasil dari tabayun kemudian diterbitkan di situs dan disebarkan melalui jaringan yang dimiliki.

Demikianlah hasil angan-anganku jika menjadi Menag. Jujur saja saat menulis ini aku juga membayangkan betapa ramainya kontroversi yang terjadi akibat aku menyampaikan kelima hal tersebut kepada publik saat menjadi Menag. :D

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun