Mohon tunggu...
buanergis muryono
buanergis muryono Mohon Tunggu... lainnya -

buanergis muryono adalah seniman. guru besar sanggar mariska oka agency; konsultan seni & budaya; wali budaya nusantara Istana Wong Sintinx KUNJUNGI: www.sanggarmariska.webs.com, Sanggar Mariska, SANGGAR MARISKA GRUP, SANDIWARA RADIO COMMUNITY

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Yen Wani Ojo Wedi-wedi, Yen Wedi Ojo Wani-wani

24 Maret 2010   18:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:13 1139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ini bermula dhawuhe simbahku suwargi. Waktu kelas lima sekolah dasar ada orang kirim santet. Untungnya kami dianggap waskita oleh para tetangga dan masyarakat sekeliling kami, sehingga santet itu tidak merusak atau pun menyentuh kami. Tujuan utama adalah diriku karena dianggap mengganggu bisnis tetangga. Padahal bisnisnya sangat sepele, beli pisang di pohon, lalu kutebang dan jual ke pasar; beli jagung yang masih menghijau di sawah, kupanen ketika siap dibakar. Waktu kecil aku tuh sudah peka terhadap usaha kecil-kecilan untuk meringankan beban keluarga yang perlu penyegaran hidup karena penghasilan bapakku cukup buat makan saja. Cukupnya karena diselingi bon dan utang. Jadi tiap bulan ada istilah ‘ngebon’ di toko China, namanya Bah Tongshin.

Berangkat dari pesan simbahku ini, aku semalaman tidak tidur. Selalu berjaga di dekat sentir (lampu minyak buatan sendiri menggunakan botol bekas kukasih sumbu kain tua yang dikenal sebagai gombal. Pengikat sumbu kubuat dari seng juga bekas tutup botol). Memang aku kreatif, dapat menciptakan sesuatu yang belum mampu kebeli. Kalau orang menggunakan minyak tanah dengan membeli, aku membuat minyak sendiri dari kelapa yang kudapatkan dari ngasak di perkebunan dekat rumah kami.

Pagi hari, seolah ada yang membimbingku, ‘ndakir trisik’ atau menggali bawah ompak kayu landasan rumah bagian depan di empat penjuru. Aku mendapatkan buntalan maupun ligan, jarum, beras kuning, kacang hijau. Konon, kalau berhasil ‘ngirim’, barang-barang itu bisa masuk perutku bahkan melukai mataku. Untungnya menjelang maghrib kiriman santet tersebut meledak tepat di depan pintu rumah kami. Rumah peninggalan simbah suwargi. Menimang benda-benda itu, simbah seolah masih hidup dan membisikkan pesannya, “Yen wani ojo wedi-wedi, yen wedi ojo wani-wani!

Dalem wantun, Mbah!” clathuku. Jadi maksud jawabanku, aku berani, Mbah. Aku memang berani. Benda-benda itu kuludahi di telapak tanganku, lalu kubawa ke kakus. Kakus itu jumbleng, lubang sedalam 12 meter berbentuk sumur, kebetulan juga buatanku sendiri bersama lima teman kecilku. Gila, ya? Kakus itu buat buang air besar. Hanya kukasih palang bekas kulit aren, atau blebekan sagu. Dipalangi di atasnya buat jongkok. Bila BAB, maka terdengar suara, bleg. Bleg. Kecuali mencret, suaranya pasti beda. Untuk membersihkan pantat, dengan memelorotkan celana pendek menuju sumur tua kami, dengan mengambil airnya memakai timba dan kerekan. Talinya terbuat dari tali ijuk. Tahun 79 berganti dengan karet ban bekas. Baik timbanya maupun talinya. Ternyata jauh tidak awet dibandingkan tali ijuk yang tahan air dan sangat kuat. Jeleknya tangan gampang terluka oleh tusukan ijuk. Setiap abis nimba, jelas, pasti ada jari dan telapak tangan tertusuk ijuk. Sakit? Bukan, tapi perihnya minta ampun.

Selesai membuang jarum, beras kuning, kacang ijo santet tersebut di dalam jumbleng, aku mandi kramas. Siap berangkat sekolah walaupun semalaman tidak tidur. Begitu keluar pagar rumah kami (disebut ceketeng) aku sudah disambut oleh seseorang, konon pengirim santet itu. Usianya saat itu mungkin 40an tahun. Dia sudah punya empat anak, semuanya laki, dan dua dari anaknya adalah teman mainku. Bisnisnya sebagai pembeli ijon bersama isteri. Membeli apa pun sebelum pohon itu berbuah. Mulai dari pisang, randu, mangga, dan sebagainya. Jadi aku dianggap pesaingnya.

Entah dari mana asal-muasalnya, sambil menuntun sepeda kumbangnya model perempuan, dia tidak berhenti ngomel dan memarahiku. Ada pendengar setia yang membuntuti kami namanya Kajad, seorang pemain ketoprak yang sering mengajakku main sebagai pemain cilik.

Sepatah kata pun aku tidak membalas omelan dan makiannya, walaupun dalam hatiku mendidih, bahkan terasa panas dingin. Aku ingin melompat dan menerjangnya, tapi pasti kalah tua. Aku terakhir ngomong begini, “Anakmu maling!”

Dia melotot, tapi aku sudah belok ke sekolahan. Di halaman sekolah aku membalik badan dengan mata melotot dan tangan di pinggang seperti jagoan, “Beranimu sama anak kecil! Kalau aku gede, sudah kuhajar kau! Orangtua goblok! Kau akan cepet mati sebelum menyentuhku!”

Pemain ketoprak itu masih membuntuti kami, kayaknya mengantisipasi kalau terjadi apa-apa terhadap kami. Beliau menyaksikan makian sepanjang tiga kilometer, yaitu jarak dari rumahku ke sekolahan kami.

Pengirim santet itu ternyata hanya melotot, lihat kiri kanan tanpa berani mengejarku yang sudah memasuki area sekolahanku di mana berhadapan benar dengan tempat dia bekerja. Ketika dia masuk ke wilayah tempatnya kerja, pemain ketoprak itu menghampiri sekolahku, menyusulku ke kelas karena pelajaran belum dimulai. Beliau bilang, “Nak, hati-hati!”

“Ra wedi, Paklik (Ga takut, Paman). Dia itu jahat harus dihadapi.” Semua pake bahasa Jawa.

“Tapi hati-hati. Dia kan orangtua, kau masih kecil. Masa depanmu masih panjang, Nak.”

“Dia akan cepat mati!”

Pemain ketoprak itu mengangguk-angguk, mengelus pundak dan mengusap rambut kepalaku. “Putune Mbah Mangun pancen ra perlu wedi. Kowe bener, ngger. Paklik weruh.” Artine gini, cucunya Mbah Mangun memang tidak perlu takut. Kau benar, Nak. Paman melihat. “Yen wani ojo wedi-wedi, yen wedi ojo wani-wani; kuwi pangandikane Mbahmu. Kok yo kowe eling.” Maksudnya, kalau berani jangan takut-takut, tapi kalau takut jangan coba-coba berani; itu pesan simbahmu. Kau ternyata masih ingat.”

Memang dawuh itu sering diulang-ulang almarhum, sehingga para tetangga dan siapa pun yang sering melewati pekarangan kami, atau bertandang sowan ke simbah pasti pernah didawuhi atau dinasihati seperti itu. Terutama padaku… agar aku tidak pernah takut menghadapi apa pun bila memang berada di pihak benar, jujur, dan bersih.

Pikiranku, masih kelas lima sekolah dasar, tapi merasa sudah sepuh banget aku saat itu.

Lalu… tidak lama setelah peristiwa itu, masyarakat heboh, anak bungsu lelaki penyantet itu meninggal akibat tabrakan motor. Menyusul kemudian… dia jatuh dari pohon jambu… punggungnya patah, kepalanya pecah. Sebelum mati, konon kirim pesan, minta maaf padaku. Jantungku berdegup kencang… sekonyong melihat kepala lelaki itu melayang… “siapa takut?” empat puluh hari setelah kematiannya, isterinya masuk rumah sakit, lehernya seperti terjerat temali. Setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit, ia tidak langsung ke rumah, tapi menemuiku… tidak bilang apa-apa… namun ia menangis terisak pilu sambil bilang, “Anakku!”

Aku hanya mengangkat bahu. Gimana aku jadi anakmu, kan selama ini kalian memusuhiku, hanya karena laris daganganku kalian anggap sebagai pesaingmu.

Duh, jadi pedagang cilik kok yo dimusuhi, nyatane malati. Jadi… orang becik, manusia baik itu kadang ditakuti, walaupun tidak pernah membenci. Perempuan, sang janda itu… hidup sampai nini-nini…. Konon, sering menanyakan keberadaanku kini, katanya, karena diriku yang hina ini membuatnya mengenal hidup ini. Bahwa betapa pentingnya mengasihi setulus hati. Ia tak mau salah lagi seperti sang suami, “Wong wedi kok wani-wani!” sebetulnya takut tapi diberani-beranikan. Makanya, yen wani ojo wedi-wedi, yen wedi ojo wani-wani!

Pepatah ini… sungguh berlaku bagi siapa pun sampai saat ini. Kalau kau berani, jangan takut-takut dan ragu-ragu lagi, tapi kalau kau takut, jangan sekali-kali merasa berani, nanti jadi bilahi! Gimana dengan SBY? Sama, kalau memang benar… ngapain takut-takut! Melangkah terus dengan hati lurus, tapi kalau memang ‘luput’ belum terlambat untuk menelusuri pembuat kalut! Siapa ikut? Boleh ikut… jangan takut! Inget, aku kemarin dibilang orang ‘pengecut!’ Buanergis Muryono, Kampungasem Maret 2010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun