Mohon tunggu...
Bryan de Mang
Bryan de Mang Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa filsafat-Teologi. Cinta membaca. Senang menulis. Berkuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng.

Sangat senang membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kampus Merdeka yang Berpikir Merdeka

30 Maret 2020   10:04 Diperbarui: 30 Maret 2020   10:13 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ketika saya mencari-cari bahan untuk  membuat artikel tiba-tiba muncul pertanyaan dalam benak saya. Sebenarnya, apa masalah mendasar pendidikan di Indonesia? Pertanyaan yang sama kemudian saya temukan dalam sebuah artikel yang menjadi titik tolak saya mengeluarkan gagasan saya. 

Apa masalah mendasar pendidikan di Indonesia? Lemahnya kompetensi lulusan, rendahnya produktivitas dan kualitas karya ilmiah, serta maraknya perilaku tidak terpuji misalnya seperti korupsi oleh kalangan terdidik, menjadi gejala yang diperkirakan bahwa pendidikan di Indonesia perlu mendapat perhatian lebih. (Johanes Eka Priyatma, Merdeka Berpikir, dalam Kompas, Kamis, 6 Februari 2020).

Menurut hemat saya, salah satu masalah mendasar pendidikan itu adalah Kemandirian Berpikir. Orang takut untuk berpikir. Mungkin akan lebih tepat bila dikatakan kurang terbiasa untuk berpikir. Melatih pikiran. Mengeluarkan gagasan serta alasannya sehingga logis dan dapat diterima. Kebanyakan orang takut untuk berargumen. Mereka takut bahwa nanti mereka akan emosi dan marah-marah. Istilah yang trendi sekarang, baper (terbawa perasaan). Padahal kita juga harus membedakan antara debat yang mempertahankan gagasan hingga orang yang kita ajak bicara menerima pendapat kita, dengan diskusi yang menekankan penghargaan terhadap gagasan yang muncul untuk dikritisi serta saling memperkaya satu sama lain.

Saya sendiri punya pengalaman punya pengalaman yang serupa. Beberapa teman dari kampus saya maupun bukan dari kampus saya pun takut-takut untuk mengeluarkan gagasan, serta mengkritisi gagasan yang ada, atau realita yang terjadi. Misalnya saja seperti realita yang sekarang ini. Virus Covid-19. Ada banyak pendapat, ada banyak informasi, dan ada banyak konspirasi yang muncul, dan kita perlu menanggapinya secara kritis.

Spontan saya berpikir bahwa ketakutan untuk berpikir mandiri ini sangatlah fatal. Banyak sarjana yang tidak bisa membuat kalimat sendiri. Sehingga kita tidak bisa menyangka maraknya plagiasi yang terjadi bahkan oleh kalangan terdidik. (Bdk. Kasus dalam berita kompas "Dipolisikan, Pelapor Dugaan Plagiarisme Gugat Rektor UNNES Rp 5 miliar", Rabu, 11 Maret 2020).

Bukan hanya itu istilah baru yang saya temukan akibat dari ketakutan berpikir mandiri adalah Joki Skripsi. Joki Skripsi ini saya dengar dari teman saya yang sebentar lagi akan menyelesaikan kuliahnya. Skripsinya dibuat oleh orang lain. Ia hanya akan mempelajarinya setelah memeriksakannya kepada dosen pembimbingnya dan ini sudah menjadi rahasia umum di kampusnya.

Miris, bukan? Bahkan ini dijadikan titik tumpu untuk berdalih bahwa hal-hal semacam ini (skripsi) tidaklah menentukan masa depan seseorang, dan yang menentukan masa depan itu adalah keterampilan. Padahal itu tidak bisa dipisahkan dengan kebijakan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim tentang "Merdeka Belajar: Kampus Merdeka" yang menjadikan inti kampus dan fokus utama adalah mahasiswa (Abdul Rahman Hamid, Kampus Merdeka Menteri Nadiem, dalam Tempo.co, Rabu, 29 Januari 2020).

Dan siapa yang menyangka bahwa akibat dari ketakutan berpikir ini adalah orang menjadi kurang percaya diri, takut bersikap, mudah dimanipulasi oleh hoax, dan tumpul keunikannya. Generasi seperti itu akan kurang kreatif, tidak berani berusaha mandiri dan mengambil resiko serta kurang kritis terhadap realitas hidupnya (Johanes: Kompas, 6 Februari 2020).

Pepatah bahasa Latin Non Scholae sed Vitae Discimus senada dengan Education is Not the Learning of Facts but the Training of the Mind to Think (Quote dari Albert Einstein). Kita belajar bukan supaya banyak tahu tapi untuk mengasah dan mempertajam cara kita berpikir agar lebih mandiri dan kritis menanggapi sesuatu. Selain menjadi terampil, kita dituntut untuk merdeka berpikir. Bukan membedakan dengan apa yang harusnya kita buat agar terampil. Tetapi menyatukannya. Terampil tidak bisa dilepaskan dengan merdeka untuk berpikir. Tidak boleh dipecah-pecah. Terampil dan merdeka berpikir merupakan satu kesatuan. Hingga kita mengerti bahwa kita belajar untuk value  dan kehidupan bukan score (hitam di atas putih). 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun