Mohon tunggu...
Briliano Doter
Briliano Doter Mohon Tunggu... Petani - Mahasiswa

Terbatas dalam Tindakan namun Merdeka dalam Pikiran!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Intoleransi: Kekerasan terhadap Perempuan

6 Desember 2021   08:52 Diperbarui: 6 Desember 2021   08:52 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (sumber: suara.com)

Penetapan Hari Tidak Ada Toleransi Bagi Kekerasan Terhadap Perempuan, dilandasi pada sebuah peristiwa kelam tepatnya 06 Desember 1989 silam di Universitas Montreal, Kanada. Saat itu terjadi sebuah pembunuhan masal yang dilakukan secara brutal oleh seorang pria tak dikenal. Diduga karena rasa kecewa atas kegagalannya masuk ke universitas tersebut, dengan mengunakan senapan semi otomatis berkaliber 233, pelaku menembaki dengan membabi buta sehingga menewaskan 14 orang mahasiswi dan melukai 12 mahasiswi serta 1 mahasiswa. Korban mayoritas adalah perempuan, sehingga dapat dipastikan bahwa merekalah yang menjadi sasarannya. Peristiwa seperti ini masih terjadi hingga kini, walaupun bentuk kekerasannya berbeda, baik itu di Pusat maupun Daerah.

Dua hari yang lalu (4/12), ramai di pemberitaan media (elektronik & sosial) seorang mahasiswi Universitas Brawijaya, Jawa Timur, yang diduga menjadi korban pemerkosaan oknum polisi, melakukan bunuh diri setelah menelan obat aborsi, mirisnya hal ini dilakukan di samping makam Orang Tuanya.

Korban NRW di pusarah Ayahnya (sumber: poskota.co.id)
Korban NRW di pusarah Ayahnya (sumber: poskota.co.id)

Ada secercah cahaya harapan saat ini dengan adanya sebuah payung hukum mengenai kekerasan seksual yang sebelumnya kesempitan makna, saat ini telah diperluas dan ragam  bentuknya. Berdasarkan Permenristekdikti No 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, Pasal 5 Ayat 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik dan/atau melalui teknologi komunikasi dan informasi. Semoga ini menjadi pemberi semangat kepada civitas akademika untuk membongkar fenomena 'gunung es' di kampus.

Peristiwa lainnya, seperti yang terjadi pada Rabu (13/6) di Polsek Jailolo Selatan, Halmahera Barat, Maluku Utara. Terjadi pemerkosaan oleh oknum polisi terhadap seorang gadis 16 tahun, yang harapannya mendapat tempat untuk bermalam lalu diamankan ke Polsek, karena keterlambatan angkutan ke Kota Ternate. 

Berdasarkan dua peristiwa yang telah disebutkan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan (seksual), dapat terjadi di mana pun. Kampus yang seharusnya tempat untuk menimba ilmu, malah berubah menjadi tempat untuk memuaskan nafsu. Aparat Kepolisian bertransformasi menjadi keparat pernjarah selangkangan.

Kekerasan terhadap perempuan bukan hanya terjadi secara seksual, dapat juga terjadi secara sosial, emosional/psikis dan finansial. Khususnya secara finansial, Penulis ingin berbagi cerita, mengenai masyarakat Suku Sahu, Halmahera Barat. 

Rumah Adat Suku Sahu (sumber: dok pribadi)
Rumah Adat Suku Sahu (sumber: dok pribadi)

Masyarakat Suku Sahu dalam hal pembagian warisan, kedudukan perempuan selalu dianggap sebelah mata. Perempuan dalam keluarga Suku Sahu, tidak mendapatkan apa pun warisan milik orang tua, jikalau mendapatkan bagian, sangat sedikit dibandingkan yang laki-laki.

Hal ini memang telah menjadi kultur masyarakat Suku Sahu, namun harus perlahan-lahan dilunturkan demi alasan kesetaraan.

Penulis : Briliano Doter

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun