Mohon tunggu...
Briantama Afiq Ashari
Briantama Afiq Ashari Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Kennis n Daad

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Kamu sedang dalam Fase Susah Menerima Kehilangan? Kamu Kecewa karena Ditinggal Pergi? Yasudah, Menulis Aja!

21 November 2021   12:00 Diperbarui: 21 November 2021   12:11 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Twitter @prettyguardying

Masa pandemi selain membuat mahasiswa seakan-akan menjadi beban orang tua karena sering rebahan, tetapi juga membuat mahasiswa yang sedang patah hati menjadi merana karena tidak kunjung menemukan orang baru. Alih-alih bertemu orang baru agar perlahan ikhlas masa lalu, namun malah masih santai rebahan sambil scroll tiktok yang diisi konten uwu, jadilah anda overthinking karena merasa cupu. 

Permasalahan cinta terkadang memberikan warna tersendiri bagi para kaum muda yang lugu. Terkadang cinta yang telah dibangun sedemikian rupa, nyatanya hanya menjadi harapan yang tidak ada ujungnya. Akibatnya, banyak muda-mudi yang mengalami gagal dalam hal hubungan cinta sehingga berujung pada kekecewaan, derita, dan nestapa. Situasi tersebut semakin parah ketika situasi pandemi seperti sekarang ini, situasi pandemi mengakibatkan perubahan kebiasaan perilaku dalam aspek psikologi yang memiliki dasar bahwa kebijakan isolasi secara mandiri dapat memengaruhi kesehatan psikis.

Kebijakan isolasi yang diperpanjang di suatu daerah memicu depresi, kecemasan, rasa takut berlebihan, serta perubahan pola tidur yang  memperburuk kondisi  kesehatan  mental dan juga fisik. Kondisi ini menyebabkan beberapa muda-mudi tidak dapat menyembuhkan diri (self-healing) karena terus berkutat untuk tidak menerima kenyataan kehilangan, padahal setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan. 

Tidak apa-apa, sesekali nikmatin masa-masa itu agar kita dapat belajar arti menerima kehilangan. Memang benar apa yang dikatakan Descartes, yaitu “Cogito Ergo Sum: Aku berpikir maka aku ada, aku berpikir kamu cinta, ternyata aku sudah gila karena mengada-ada”. Menurut opini penulis, belajar menerima kehilangan dapat dilakukan melalui cara menulis. Mengapa kadangkala kita masih tidak rela adanya perpisahan? Karena kita masih memendam perasaan itu di hati, untuk itu bagaimana caranya agar tidak terpendam terlalu lama? Tentu diungkapkan melalui ekspresi tulisan.

Menurut Pannebaker & Smith, untuk meminimalisir terjadinya kecemasan karena terlalu lama memendam perasaan pahit dan pikiran yang kacau adalah melalui metode expressive writing therapy. Pada metode expressive writing ditekankan wujud ekspresi peluapan emosi, masalah, perasaan, dan mood setiap individu dalam bentuk tulisan agar emosi (uneg-uneg) yang masih terpendam dapat keluar. Teknik expressive writing tentu akan lebih maksimal apabila disertai dengan aspek sastra. 

Sastra dan expressive writing therapy menitikberatkan peluapan emosi suatu kejadian yang mengusik pikiran melalui karya tulis sastra. Penggunaan diksi-diksi sastra yang indah akan memengaruhi si penulis untuk mencari lebih luas lagi terkait diksi indah sehingga si penulis lambat laun dapat menerima kehilangan secara elegan. Wujud apresiasi (self-reward) tentang penggunaan diksi indah dalam karya tulis sastra memengaruhi pola pikir si penulis agar lebih fokus terhadap pengembangan diri sendiri daripada memikirkan orang lain yang bahkan belum tentu orang tersebut peduli. 

Aktivitas sederhana tersebut terbukti menumbuhkan kepercayaan diri bersamaan dengan proses penyembuhan diri (self-healing). Indikator keberhasilannya terletak di dalam pemahaman seseorang mengenai cara mengendalikan emosi melalui teknik menulis sastra. Proses pengalihan dari masalah pahit di otak menjadi suatu karya tulis sastra yang indah tentunya memerlukan dedikasi dan niat yang konsisten.

Mengapa kita harus menulis? Terutama menggunakan diksi sastra ketika terjadi kehilangan? Karena sejatinya untuk mengapresiasi diri sendiri memerlukan rangkaian diksi yang indah untuk membangun personal seseorang dari yang hancur menjadi lebih tangguh. Saya sendiri telah mengalami hal semacam ini, yaitu menerima kehilangan melalui sastra. Entah mengapa ketika sedang galau, tiba-tiba otak lancar merangkai diksi-diksi yang indah. 

Menurut opini pribadi, hal tersebut karena kita memerlukan adanya keindahan dalam diri sendiri ketika sedang mengalami penderitaan. Untuk mewujudkannya secara cepat tentu hanya dapat terwujud melalui rangkaian diksi indah, ibaratnya diksi sastra yang indah merupakan obat penawar racun saat seseorang sedang tidak dapat mengontrol emosi akibat menolak kehilangan. Saat kita membaca hasil karya sastra dengan diksi indah maka diri sendiri akan takjub, heran, dan mampu mengapresiasi karena tidak semua orang dapat mengalihkan penderitaan menjadi keindahan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun