Mohon tunggu...
Ani Berta
Ani Berta Mohon Tunggu... Konsultan - Blogger

Blogger, Communication Practitioner, Content Writer, Accounting, Jazz and coffee lover, And also a mother who crazy in love to read and write.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kembalikan Kejayaan Gula Indonesia

26 Mei 2019   14:47 Diperbarui: 26 Mei 2019   14:48 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah isu politik ini, saya boleh dong ya mewarnai jagat waya dengan tulisan nuansa lain yang mudah-mudahan dapat mengalihkan sedikit perhatian terhadap isu lainnya yang tak kalah penting. Yaitu mengenai Gula yang sedang terpuruk identitasnya dan kabur dari pantauan ibu pertiwi. 

Kejayaan Gula di Indonesia berawal di tahun 1800an setelah tumbangnya kejayaan komoditas kopi. Namun di era 1930 kejayaan gula ini mulai tumbang. Walau masih memenuhi permintaan pasar dalam dan luar negeri. Pernyataan ini dikutip dari Buku Karya Ir.Gamal Nasir yang berjudul "Think Palm Oil with A Cup Of Coffee"

Indonesia sempat menjadi Negara eksportir gula terbesar kedua dunia namun saat ini justru sebaliknya, Indonesia menjadi Negara importir gula terbesar. Menyikapi hal ini, tentu penting digali akar permasalahnnya agar komoditas tebu dan produksi gula bangkit kembali.

Hal ini menunjukkan upaya bahwa Indonesia masih mempunyai potensi akan komoditas tersebut mengingat alam Indonesia cocok ditanami tanaman tebu sebagai bahan baku untuk pembuatan gula.

Pada 16 Mei 2019 lalu, sambil menunggu buka puasa bersama dengan Kementerian Pertanian Indonesia, saya menyimak langsung paparan dari para Narasumber tentang tantangan-tantangan komoditas tebu dan produksi gula yang kian menurun ini. Diantaranya dari Bapak Agus Pakpahan dan Asosiasi Gula Indonesia (AGI).

Menurut Bapak Agus Pakpahan, sebenarnya gula di Indonesia sempat meningkat di era 1998 -- 2008 namun di 2008 hingga sekarang mengalami penurunan lagi.

Dok Pri
Dok Pri

Akar permasalahan yang berhasil dihimpun oleh AGI, hal ini akibat dari imbas menurunnya tren harga gula di pasaran dunia yang berjangka panjang dan hal ini berakibat surplus gula dunia dari subsidi negara masing-masing terhadap konsumsi gula ini. Begitu pula di Indonesia, pada 2018 mengalami surplus gula sebanyak 2,4 Juta Ton melebihi kebutuhan dari gula itu sendiri. Sehingga hasil tebu petani tidak terserap.

Masalah lainnya adalah penyusutan lahan kebun tebu yang kian hari kian berkurang tanpa ada solusi. Disebabkan para petani berpindah menanam komoditas lain akibat tidak berpihaknya insentif terhadap para petani tebu dalam pembelian bahan baku yang harganya sangat rendah.

Lalu yang menjadi kendala juga datang dari kebijakan pemerintah terhadap komoditi tebu dan produksi gula yang belum jelas regulasinya pada industri hilir sehingga pelaku industri belum leluasa dalam melaksanakan produksi yang lebih massif.

Teknologi kekinian yang menuntut produksi gula berkualitas juga sangat berperan dalam keberhasilan peningkatan produktivitas gula saat ini, infrastruktur seperti pembaruan teknologi, sumber daya manusia dan sistemnya sekarang masih tertatih sehingga lagi-lagi produksi gula terhambat karena peraturan SNI (Standardisasi Nasional Indonesia) masih belum cukup mendekati terhadap produksi gula yang dihasilkan. Terutama untuk Gula Kristal Putih (GKP).

SNI sangat baik diterapkan sebagai dorongan daya saing di pasaran dunia maupun lokal untuk mendapatkan gula berkualitas. Dalam hal ini, Kememperin sudah menyarankan bahwa penerapan SNI pada gula dilakukan bertahap sesuai dengan perkembangan teknologinya. Jadi, ini sudah merupakan satu solusi.

Bapak Agus Pakpahan juga mengemukakan bahwa solusi-solusi lainnya dalam rangka membangkitkan kembali produksi gula agar tidak tergantung pada impor, beberapa langkah bersama pihak-pihak terkait sudah ada realisasi upaya. Misalnya, penargetan perluasan lahan tebu hingga 2024 minimum 80.000 ha. Terutama pada areal pabrik gula.

Pada 2019 areal tebu di Indonesia ada sekitar 420.000 ha meliputi 220.000 di Pulau Jawa dan 200.000 ha di luar Jawa. Maka, mulai saat ini, diperluas juga untuk areal luar Jawa untuk mencapai produksi Gula Kristal Putih dengan target 3juta ton menuju swasembada.

Pembiayaan program yang merupakan perluasan meliputi benih, pengolahan lahan, pemupukan, sarana irigasi dan sarana tebang angkut.

Pengawalan juga dilakukan melalui pengembangan system pabrik gula pekebun, pengembangan kelembagaan perbenihan dan pengembangan keterampilan teknis bagi pekebun. Dengan demikian, semuanya dapat terawasi dan terevaluasi dengan jelas yang menjadikan bahan evaluasi ke depannya.

AGI menyarankan bahwa Dewan Gula sebaiknya dihidupkan kembali fungsinya sebagai badan pengawasan kebijakan terhadap produksi gula termasuk pengendalian impor.

Kebijakan Kemenperin dalam memberlakukan kuota izin impor gula juga merupakan salah satu upaya yang baik, Saat ini, kuota impor gula dibatasi hanya 2,8 Juta Ton yang sudah menurun dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 3,6 Juta Ton. Namun penurunan kuota izin impor ini disikapi juga dengan mengimbangi produksi lokal yang harus ditingkatkan. Agar pemenuhan konsumsi gula dapat terpenuhi dari hasil produksi sendiri.

Semoga upaya pengembangan ini dapat berjalan dengan lancar dan kerjasama dengan beberapa stakeholder dapat membuahkan hasil memuaskan. Intinya, visi menuju swasembada dan menekan impor gula bisa berjalan dengan baik dengan usaha maksimal yang dijalankan.

Tingkatkan sumberdaya manusia, manfaatkan alam, penuhi kesejahteraan petani, perluas lahan, pemerataan pembangunan perkebunan dan pabrik gula serta matangkan program.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun