Mohon tunggu...
Ani Berta
Ani Berta Mohon Tunggu... Konsultan - Blogger

Blogger, Communication Practitioner, Content Writer, Accounting, Jazz and coffee lover, And also a mother who crazy in love to read and write.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menanamkan Kejujuran dan Memutus Rantai Budaya Suap pada Anak Saat Memasukkan Mereka ke Sekolah

22 Juli 2018   09:09 Diperbarui: 22 Juli 2018   09:57 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Saya termasuk salah satu anak yang dulunya sekolah di SMA swasta dengan fasilitas minim. Jauh dari favorit, bahkan gedungnya numpang di sekolahan SMP. Tetapi saya mampu masuk ke sekolah tinggi dan setelah lulus, langsung bekerja sesuai latar belakang pendidikan. Bahkan langsung ditugaskan ke luar negeri menjadi account officer di sebuah perusahaan yang lumayan bonafid. So, masihkah ngotot harus masuk negeri?

Masih banyak teman saya yang masuk negeri favorit tapi nasib dan karirnya jauh di bawah saya. Maaf bukan bermaksud riya. Namun saya memberikan contoh konkret dengan apa yang terjadi sesuai pengalaman sendiri.

Ada pula Hanung Brahmantyo, sineas dengan karya-karya keren ini, dia mengaku sekolah tak di tempat favorit. Masuk sekolah sesuai kemampuan orangtuanya yang  membiayai dan asalkan dekat rumah, alasannya. Tetapi sekarang karyanya benar-benar diperhitungkan. Begitu pula dengan Andrea Hirata, tidak masuk SMP atau SMA favorit namun bisa mendapat beasiswa hingga ke Eropa dan sekarang karyanya melejit bahkan novelnya dibuat film. Masih banyak lagi profil pejabat dan tokoh yang sekolah asalnya bukan favorit namun bisa maju di masa depannya.

Maka dari itu, saya sangat yakin dengan usaha keras, belajar tekun dan kerja cerdas untuk mencapai sesuatu. Menaamkan nilai kejujuran hasil usaha sendiri, realistis dan memanfaatkan yang ada pada kita yang dikasih Allah SWT adalah lebih baik dari pada memanipulasi kemampuan hanya sekadar ingin masuk SMP atau SMA favorit.

Kesimpulannya, masuk negeri favorit itu sangat keren jika masuk benar-benar hasil seleksi kemampuan, tes prestasi dan sesuai prosedur wajar. Jika anaknya nilainya besar dan secara zona masuk, tak salah orangtuanya untuk memperjuangkan anaknya supaya masuk negeri yang diinginkan tapi jika anak tidak dapat masuk karena NM kurang, hasil test jalur prestasi tidak memenuhi dan secara zonasi tidak masuk, mengapa harus memaksakan diri yang berakibat tidak memutus rantai budaya tidak layak pada anak?

Masukan Untuk Pemerintah dan Pihak Terkait Masalah Zonasi dan SKTM

Jika memang hasil evaluasi sistem zonasi ini berhasil setelah proses belajar mengajar berjalan, saya sangat mendukung sistem ini untuk pemerataan kualitas pendidikan yang diharapkan. Tetapi jika tidak ada hasil signifikan, dimohon segera mengevaluasi dan melakukan keputusan yang lebih bijaksana. Dilihat dari lebih banyaknya poin plus minus yang menjadi bahan pertimbangan.

Soal SKTM, sebaiknya pemerintah daerah setempat, mulai dari tingkat RT harus menjadi penyaring utama di garda terdepan. Sudah seharusnya tahu kan jika warganya itu mampu atau tidak? Tinggal verifikasi keadaan serta datanya secara langsung. Jangan karena kenal atau disuap maka surat pun dibuat.

Pihak sekolah juga sebaiknya check ' n re-check  apakah siswanya itu benar-benar dari keluarga tidak mampu?

Untuk pihak orang tua di manapun berada, tidak perlu menyalahkan sistem pendidikan yang ada, karena kita tahu orang berkompeten melakukan riset mendalam, diskusi dan studi banding untuk keputusan yang dibuatnya demi pendidikan yang berkualitas. Yang perlu diperbaiki dan dilakukan adalah sikap dan cara mengambil langkah yang tepat saat memasukkan anak sekolah.

Tidak harus mengabulkan keinginan anak jika kondisi tidak memungkinkan, namun teruslah bernegosiasi dengan anak agar mau realistis dan bergerak untuk belajar lebih baik lagi dan memanfaatkan fasilitas yang didapatnya tanpa melalui proses yang tidak wajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun