Mohon tunggu...
Brahmanto Anindito
Brahmanto Anindito Mohon Tunggu... profesional -

Copywriter. Ghostwriter. Scriptwriter. Suka main futsal, bulutangkis dan catur, meski tidak jago. Penggemar berat karya-karya Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Gerilya Konten untuk Pariwisata Indonesia

21 Januari 2015   05:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:42 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Content marketing untuk pariwisata Indonesia

[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="Content marketing untuk pariwisata Indonesia. Sumber gambar: internette-guvenlik.blogspot.com"][/caption] Bayangkan pariwisata sebagai atlet lari. Kaki kanannya adalah produk, kaki kirinya adalah marketing, dan jantungnya adalah dana. Untuk bisa berlari kencang dan memenangkan kompetisi, tentu sepasang kaki ini harus sehat dan kuat. Jantungnya pun harus stabil memompa. Tidak mudah pastinya. Dan tidak murah. Harus sering-sering berlatih, makan makanan bergizi, minum vitamin, dsb. Menyehatkan kualitas produk, umpamanya. Itu sama dengan membangun atau memperbaiki sarana-prasarana lokasi wisata, kreatif membuat pertunjukan yang variatif, menertibkan pengemis-pengamen-asongan (yang sering membuat turis risih), melatih staf soal keramahtamahan serta pelayanan, menyediakan wi-fi gratis agar pengunjung bisa langsung mengunggah foto-fotonya ke jejaring sosial, memastikan keamanan turis dan warga sekitar, dst. Siapa bilang mudah? Lalu, ia masih harus menguatkan marketing. Contohnya mengikuti pameran travel, menggencarkan iklan di koran, majalah, radio, televisi, jejaring sosial (Facebook Ads), search engines (Google Adwords, Yahoo Ads), billboard, menggratiskan visa bagi turis negara-negara potensial, dst. Siapa bilang murah? Tapi saya yakin, Bapak-bapak dan Ibu-ibu di Kementerian Pariwisata sudah tahu dan menjalankan semua itu. Tinggal ditingkatkan saja rasanya. Yang mau saya usulkan di sini adalah strategi content marketing. Ini vitamin yang baik sekali untuk menguatkan “kaki-kaki” pariwisata kita, Bapak-bapak, Ibu-ibu. Pemasaran via konten alias content marketing bertujuan menyediakan informasi-informasi yang membuat turis atau calon turis lebih pandai, berwawasan, terhibur, sehingga akhirnya jatuh cinta dan loyal terhadap Indonesia. Tanpa ada kesan jualan! Strategi modern ini hadir untuk mengantisipasi perilaku konsumen yang sudah sumpek dengan rimbunnya iklan. Lihatlah di sekitar kita, pemirsa televisi sudah terlatih untuk mengganti saluran ketika jeda pariwara. Begitu pula pembaca koran. Apalagi pengguna aplikasi-aplikasi (gratisan) smartphone, sebagian besar pasti jengkel dengan iklan-iklannya. Itulah, saya rasa, perlunya Kementerian Pariwisata bergerilya content marketing. Kongkretnya, mari kita lihat contoh-contoh penerapannya.

Di Media Online

Saya pernah menulis tentang pentingnya mengisi tembolok search engines dengan konten-konten positif tentang Indonesia di Kompasiana. Intinya, agar pariwisata kita menancap di benak turis atau calon turis, konten-konten tentang pariwisata Indonesia wajib membanjiri jagat maya. Indonesia.travel sebagai portal resmi pariwisata Indonesia sebenarnya saya lihat sudah berada di jalur yang tepat. Meskipun lebih mantap lagi kalau portal itu loading-nya bisa gegas, desainnya responsif (sehingga tampilannya tetap rapi diakses melalui layar model apapun), dan font-nya tidak sekecil itu. Masalah besarnya, Indonesia.travel, Parekraf.go.id, bahkan ditambah situs-situs lain buatan Pemerintah belum memberi informasi berimbang. Supaya lebih berimbang dan objektif, harus ada suara “rakyat” yang masif. Maka saran saya, rangsanglah para pemilik media online, baik perorangan maupun komunitas, agar mau terus memproduksi konten-konten tentang ragam wisata Indonesia. Para blogger, Kompasianer, pemilik jejaring sosial atau YouTube adalah laras-laras yang ideal untuk memberondongkan content marketing kepariwisataan Indonesia. Insentifnya bisa berupa lomba, penghargaan, undangan berlibur gratis, atau lainnya. Dengan begitu, ada gerakan yang terstruktur, sistematis dan masif dalam membicarakan Indonesia. Tapi tentu, semua harus dilakukan dengan jujur, apa adanya, dan oleh netizen riil. Bukan oleh akun palsu, apalagi bot.

Di Media Konvensional

Content marketing tidak harus online. Justru kemunculannya lebih dulu dalam bentuk offline. Contohnya, konten-konten tertentu di media konvensional. Menanamkan cerita di media adalah tugas Public Relations (PR). Bekerjasama dengan brand journalist (pegawai yang memiliki kompetensi jurnalis profesional), PR biasanya mengirim rilis ke media sambil meyakinkan bahwa topik yang diajukannya sangat menarik dan layak tayang. Tengok saja kerjasama Pemkot Surabaya dengan salah satu surat kabar. Pernah ada rubrik Kampung Hijau yang menceritakan partisipasi aktif warga Surabaya dalam program penghijauan sang Wali Kota. Koran itu membombardir pembacanya dengan berita-berita yang bermuatan human interest dan cinta lingkungan. Apakah itu iklan? Advertorial? Bukan! Disponsori merek tertentu mungkin iya, tapi yang diturunkan di koran itu murni berita. Meskipun demikian, Pemkot diuntungkan karena programnya jadi tersosialisasi secara luas. Pembaca pun merasa tercerahkan, terinspirasi, bahkan terhibur, terutama bila kampungnya yang sedang diulas. Hal serupa tentu bisa diterapkan oleh pengelola pariwisata. Sehingga pembaca, pendengar dan pemirsa media akan selalu mendapatkan konten-konten kepariwisataan dengan sentuhan objektif ala jurnalisme.

Di Produk Hiburan

Bapak-bapak dan Ibu-ibu di Kementerian Pariwisata, untuk mempromosikan pariwisata Indonesia, Anda selalu bisa bekerja sama dengan penulis buku, sineas, komikus, game developer, pencipta lagu, kreator-kreator lainnya. Buku travel mungkin sudah jamak. Bagaimana dengan novel? Bisa! Walaupun temanya tidak harus tentang perjalanan wisata. Tapi latar budaya, TKP dan tokoh-tokoh novel itu, bila penggambarannya pas, bisa memunculkan imajinasi yang “menghantui” pembaca. Hingga pembaca berpikir, “Kayaknya asyik juga hidup di rumah terapung Banjarmasin.” Atau, “Liburan besok ke Lombok yuk. Gili Nanggu di novel kelihatannya romantis bingiiits!” Jangan salah, ini berdasarkan pengalaman saya sendiri. Sebagai novelis, saya sudah menulis cerita berlatar Surabaya, Bandung, Kerinci, dan Papua. Banyak feedback dari pembaca melalui Twitter, Facebook dan email. Mereka mengatakan jadi ingin pergi ke sini, ke sana, tergoda menaklukkan gunung ini, menjajal itu, yang mana semua itu saya gambarkan detail dalam cerita. Sejak awal, saya memang ingin terus menulis novel dengan latar berbagai tempat di Indonesia. Tak pernah tertarik mengambil latar luar negeri. Yah, hitung-hitung sekalian menanamkan kecintaan dan filosofi Wonderful Indonesia kepada para pembaca saya. Walaupun arti “wonderful” di mata saya adalah menarik, kaya, beraneka ragam. Bukan melulu indah secara harfiah. Karena kalau saya menulis novel thriller tanpa tokoh jahat, tanpa konflik yang mengerikan, semua serba indah, malah aneh! Di Doraemon yang cerita anak saja ada tokoh Giant dan Suneo yang usil kan? Menulis novel dengan detail konten lokal membutuhkan riset lapangan. Sebisa mungkin saya datang ke tempat itu sendiri. Di situlah masalah saya, Bapak-bapak, Ibu-ibu… Dana. Pesawat Surabaya-Banda Aceh saja dua jutaan. Pergi-pulang empat juta. Itu sebelum Menhub Jonan menaikkan tarif penerbangan lho. Belum lagi penginapan, makan dan operasional di sana. Buat penulis kaya, yang begini mah receh. Tapi buat saya, mending ditunda dulu deh, hahaha…. Bagaimanapun, kendala dana ini barangkali juga dialami oleh kreator-kreator produk hiburan lainnya. Jadi saya berharap, Kementerian Pariwisata bersedia memfasilitasi mereka yang bervisi serius untuk berkarya dengan mengangkat tema-tema lokal. Mungkin dengan cara mentraktir mereka ongkos pesawat dan akomodasi di lokasi. Tapi, novel kan belum tentu laris? Oh, jangan khawatirkan itu! Tidak ada istilah basi buat novel. Ini bukan buku IT yang kalau sekarang tidak laku, tahun depan pasti lebih tidak laku lagi, karena perkembangannya pesat sekali. Penjualan novel itu sifatnya anomali. Sekarang tidak ada yang beli, siapa tahu 10 tahun lagi diburu orang? Novel juga bukan karya statik. Ia bisa dijual di Google Playstore (e-book), diadaptasi menjadi komik, film, game, juga diterbitkan ke negara lain. Ingat, ini sudah masuk era pasar bebas. Novel terdahulu saya saja nyaris terbit di Malaysia. Intinya, kemungkinannya luas sekali. Apapun nasib karya ini, cerita tentang daerah itu akan turut terbawa. Jika sebuah novel latarnya Makassar, Makassar akan terus terangkat. Kalaupun diterjemahkan ke bahasa Thailand oleh penerbit Thailand, latarnya tidak mungkin tiba-tiba jadi Bangkok. Novel 5 cm yang latarnya Gunung Semeru ketika diadaptasi ke layar lebar juga tidak seenaknya diubah jadi Gunung Rinjani, bukan? Menurut hemat saya, konten-konten semacam ini, meskipun efek jualnya tidak secepat iklan atau brosur, sifatnya lebih “abadi” dalam meningkatkan visibilitas tempat-tempat wisata dan membangun loyalitas para turis. Karena yang saya tahu, memang itulah keunggulan content marketing. Harapan saya sederhana, yaitu agar Kementerian Pariwisata menggencarkan content marketing, serentak bersama traditional marketing dan pembenahan kualitas produk. Sehingga, pariwisata Indonesia akan semakin wonderful.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun