Mohon tunggu...
Boyke Abdillah
Boyke Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya manusia biasa

sahabat bisa mengunjungi saya di: http://udaboyke.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sadar Bencana Lewat Sandiwara Radio, Kenapa Enggak?

5 Juli 2017   13:48 Diperbarui: 5 Juli 2017   13:54 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
orang mendengar radio| http://vovworld.vn

Masih segar dalam ingatan saya ketika gempa Padang 30 September 2009 lalu. Walau sudah hampir 8 tahun berlalu, kejadian mencekam itu tak akan pernah hilang begitu saja. Bukan saya saja yang panik luar biasa, tapi semua orang, seisi warga kota seperti lebah yang berhamburan menyelamatkan diri. Semua mendadak chaos melihat bangunan-bangunan ambruk, rata dengan tanah. Teriakan-teriakan ketakutan, seliweran dan raungan kendaraan yang menyebabkan kemacetan parah karena satu sama lain tak mau mengalah di jalan raya, hingga tangisan anak-anak dipelukan orangtua mereka.

Kota Padang memang berada di bibir pantai samudera Hindia. Kepanikan dan ketakutan  masyarakat bukan hanya gempa saja, tapi bahaya yang lebih dashyat lagi, yakni kemungkinan datangnya tsunami. Maka, tanpa seperti ada yang mengomando, semua warga kota seakan mengarah ke arah timur kota yang lebih tinggi. Bisa dibayangkan, seisi kota secara serentak bergerak memenuhi jalan menuju ke arah timur, tentu saja kemacetan parah yang terjadi karena sebagian orang begitu sayang dengan harta benda milik mereka. Menyelamatkan diri bawa motor dan mobil, alhasil justru jalanan mendadak penuh dengan kendaraan. 

Saya yang waktu itu berada di sisi timur kota, di zona aman sebenarnya, juga didera kepanikan. Saya memacu motor ke arah pusat kota, ingin mengetahui keadaan dan keselamatan keluarga tercinta. Bisa ditebak hasilnya, saya susah sekali bergerak, karena posisi saya melawan arus. Tak mungkin saya menyelamatkan diri begitu saja, sementara keluarga saya dalam bahaya, karena tempat tinggal kami hanya 2 kilometer dari bibir pantai.   

Seandainya tsunami benar-benar terjadi, tidak bisa saya bayangkan betapa banyaknya orang yang terperangkap di kendaraan masing-masing. Syukurlah itu tidak terjadi. Tapi kejadian itu membuat saya berpikir ulang dalam menghadapi resiko bencana.

Saya memang tidak sendirian. Semua orang yang hidup di wilayah rawan bencana memang harus menyadari dan membangun budaya sadar bencana, karena itu penting kalau hidup mau selamat. Dan biasanya, masyarakat kita adalah masyarakat yang reaktif, untuk menumbuhkan kesadaran itu apalagi untuk menjadikannya sebagai budaya, susah sekali. Tapi saya bilang bukannya tidak mungkin, namun butuh segala cara dan upaya, agar masyarakat kita selalu ingat dan waspada.

Langkah-langkah edukasi dan sosialisasi yang dilakukan pihak pemerintah maupun lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan seperti LSM sudah banyak dilakukan. Saya amati di kota Padang, dimana kotanya rawan gempa dan tsunami, sudah sering dilakukan upaya-upaya dalam rangka membangun kesadaran masyarakat akan bencana yang mengancam. 

Latihan evakuasi dan penyelamatan diri dilakukan di sekolah-sekolah dan perkantoran.  Ada banyak bangunan yang bisa dijadikan shelter. Papan peringatan dan penunjuk arah evakuasi dibuat di banyak tempat. Bahkan  secara periodik juga ada sirene latihan tanda bahaya. Tapi apa itu sudah cukup dalam rangka membangun kesadaran dan budaya kesiapan menghadapi bencana?

Saya rasa belum dan masih jauh dari harapan. Apa dasar saya mengatakan hal itu? Saya merasakan sendiri. Masih banyak masyarakat yang masih kurang peduli. Sekian banyak tanda peringatan yang dibuat, sedikit yang memperhatikan. Latihan evakuasi seperti dianggap bermain-main bahkan banyak yang tidak ikut. Bahkan pengujian sirene tanda peringatan dianggap angin lalu dan menganggu pendengaran. Alat deteksi tsunami di laut juga ada yang diambil dan dirusak. Itu tandanya kesadaran masyarakat masih rendah.

Apa yang dilakukan oleh BNPB dalam rangka edukasi dan sosialisasi untuk meningkatkan budaya siaga bencana melalui radio dengan format sandiwara radio, saya pikir perlu diapresiasi. Mungkin sebagian orang beranggapan media radio merupakan cara jadul karena dihinggapi pertanyaan apa ada orang di zaman sekarang masih mendengarkan radio?

Eits, jangan salah ya, masih banyak kok masyarakat yang mendengarkan radio.  Walaupun radio dianggap media jadul tapi saya yakin masih banyak orang yang mendengarkan radio. Kenapa saya berani berkata demikian, karena saya bekerja di dunia radio.

Walau sekarang sudah banyak alternatif media untuk  pilihan, radio masih punya tempat di masyarakat pendengarnya. Ada beberapa alasan mengapa radio masih didengar orang dan ini merupakan keunggulannya dibandingkan media lain:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun