Mohon tunggu...
Boy Anugerah
Boy Anugerah Mohon Tunggu... Administrasi - Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research (LUSOR)

Pendiri dan Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research (LUSOR)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Mayantara dan Penguatan Partisipasi Publik

28 Desember 2017   12:07 Diperbarui: 28 Desember 2017   12:12 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Demokrasi dan publik bagaikan dua sisi mata uang yang saling mengukuhkan eksistensi satu sama lain. Dalam mewujudkan kehendak publik, demokrasi bertindak sebagai sarana untuk mencapainya. Oleh sebab itu, dalam bahasa filosofis, demokrasi sejatinya berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Namun demikian, relevansi dan korelasi keduanya pada tataran konseptual tersebut sulit untuk ditemukan ejawantahnya dalam praksis politik dewasa ini. Demokrasi menjelma sebagai jargon klise minim realisasi di tangan aktor-aktor politik pemburu uang dan kuasa.

Ada banyak fakta yang bisa didedahkan untuk membuktikan asumsi tersebut. Setiap menjelang pemilihan umum, para elit politik selalu kasak-kusuk untuk memperbaharui undang-undang. Argumentasinya adalah agar pemilihan umum lebih berkualitas dan lebih baik ke depannya. Faktanya, kecurangan dan kekurangan semakin meningkat. Ongkos politik semakin besar, dignitas partai politik semakin merosot, serta yang paling fatal adalah dihasilkannya pejabat yang mengkhianati aspirasi publik. Kasus Setya Novanto yang menghentak publik baru-baru ini merupakan potret kelam demokrasi di republik ini.

Keterpilihan pejabat publik produk proses koruptif ini memberikan efek derivatif yang lebih buruk karena mereka yang berstatus sebagai kepala daerah atau bahkan presiden sekalipun akan mengendalikan kendaraan bernama birokrasi. Bisa dibayangkan jika pimpinannya saja produk korupsi politik, sudah barang tentu birokrasinya akan bau anyir korupsi. Belum lagi jika menilik APBN atau APBD yang melekat pada birokrasi tersebut, alih-alih untuk kesejahteraan rakyat, justru menjadi bancakan untuk menggemukkan perut diri dan kelompok mereka sendiri.

Kondisi tersebut tentu tidak bisa dibiarkan. Demokrasi harus direjuvenasi dan dikembalikan pada jalurnya yakni kuasa publik. Opsi ini sudah barang tentu bukan merupakan proses yang mudah karena rejuvenasi demokrasi harus menyertakan seluruh struktur politik, baik suprastruktur politik kunci seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif, maupun partai politik sebagai infrastruktur politik utama dalam kehidupan politik berbangsa dan bernegara. Lantas bagaimana caranya?

Globalisasi tak selamanya buruk jika kita mau mengkomodifikasinya untuk kebajikan politik. Globalisasi menciptakan wilayah baru bernama gatra mayantara (internet/media daring) di mana partisipasi publik yang sebelumnya minim dalam mengontrol proses politik dan demokrasi, semakin meningkat dari waktu ke waktu. 

Publik tak segan-segan lagi menyuarakan aspirasinya lewat media sosial, baik dalam bentuk kritik konstruktif, maupun hujatan yang bersifat destruktif. Keberadaan aspek mayantara ini menjadi katalisator meningkatnya partisipasi publik. Mereka yang sebelumnya bersifat apatis dan apolitis, suka tidak suka, menjadi lebih melek politik. Kita bisa menyaksikan betapa riuh rendahnya masyarakat bersuara di media sosial ketika Setya Novanto, pengkhianat aspirasi rakyat, mempertontonkan dagelan orang sakit demi menghindari jeratan KPK.

Di Indonesia, jumlah pengguna internet semakin bertambah. Pada 2000, merujuk data Internet World Stats, jumlah pengguna internet berada pada kisaran 2 juta orang atau tak sampai 1 persen dari total populasi penduduk Indonesia. Pada 31 Maret 2017, utilisasi internet di Indonesia sudah mencapai 50,4 persen dari total populasi atau berada pada angka 132,7 juta pengguna. Statista.com memprediksi bahwa pada 2021, pengguna internet di Indonesia akan mencapai angka 144,2 juta jiwa.

Fakta ini selaiknya dilihat sebagai kabar baik bagi penguatan demokrasi dan peningkatan partisipasi publik yang sebelumnya memble. Indonesia bisa belajar dari negara lain yang memanfaatkan aspek mayantara ini. Pemerintahan baru Islandia pasca krisis 2008 mendapatkan 16.000 komentar sebagai usulan yang disampaikan melalui media sosial. Tidak hanya Islandia, pemerintah Inggris menerima artikulasi kepentingan masyarakat yang disampaikan melalui petisi daring sebagai bahan penyusunan kebijakan.

Para pemangku kepentingan di Indonesia sudah seyogianya melihat peningkatan partisipasi publik pada aspek mayantara ini sebagai peluang untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan kehidupan politik. Partisipasi publik sudah seharusnya dilihat sebagai sarana agregasi aspirasi untuk digunakan sebagai pedoman kerja selama periode mereka menjabat. A

spirasi publik inilah yang paling hakiki dalam proses kerja mereka, bukan aspirasi partai politik pengusung atapun pemodal asing. Jika mereka tidak melihat ini sebagai peluang perbaikan, jangan salahkan publik apabila mereka mengkonversi gatra mayantara sebagai panggung untuk mencincang pejabat publik yang tidak amanah. Dalam konteks yang futuristik, tidak menutup kemungkinan jika agregasi kemarahan publik di aspek mayantara bisa menjelma menjadi engine for people power. Untuk hal yang terakhir ini, kita hanya menunggu waktu sebagai pembuktiannya (dalam skala kecil kita bisa melihat aksi bela Islam menjatuhkan Ahok sebagai produk agregasi publik di dunia maya yang tidak disikapi dengan baik).

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu membangun sebuah instrumen cerdas agar artikulasi publik di dunia mayantara bisa diagregasi dengan baik untuk memperbaiki kualitas layanan. Pola pikir merekapun harus diubah. Mencerap aspirasi publik tidak hanya melalui metode konvesional seperti blusukan yang lebih bersifat pencitraan serta memakan waktu dan biaya, atau berkunjung ke Daerah Pemilihan (Dapil) ala anggota dewan untuk menemui konstituen yang lagi-lagi membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun