Mohon tunggu...
Rachmat Bontara
Rachmat Bontara Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Student of Political Science '09 at University of Indonesia.\r\n\r\nWe can learn much about life, therefore, not by taking it apart and analysing it, but by living it and experiencing it in time-honoured ways.\r\nhttp://bonibon2.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Kartel di Indonesia

29 April 2012   01:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:59 760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.rumahfilsafat.com

[caption id="" align="aligncenter" width="250" caption="www.okezone.com"][/caption]

Runtuhnya Orde Baru pada Mei 1998 telah membawa warna baru bagi perpolitikan di Indonesia. Indonesia melakukan konsolidasi demokratisasi yang ditandai dengan Pemilu DPR dan DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota yang serentak dilaksanakan pada 7 Juni 1999. Ini merupakan pemilu yang demokratis yang dirasakan Indonesia terakhir kali sejak tahun 1955. Berbagai macam partai politik mulai bermunculan dengan membawa berbagai macam ideologi sebagai platform-nya, ada membawa ideologi agama dan adapula yang sekuler. Penegasan ideologi dilakukan oleh partai politik guna mendulang suara dari para pemilih. Namun terdapat hal yang menarik ketika memasuki proses pembentukan pemerintahan, persaingan ideologi partai yang dikumandangkan saat pemilu seakan berhenti. Berbagai perbedaan ideologi dan tujuan dari partai politik kini bukanlah hal yang penting lagi. Kabinet yang dibentuk pun melibatkan semua partai di DPR yang mencakup partai Islam maupun moderat.

Pola yang sama terjadi lagi saat Pemilu 2004, perbedaan ideologi hanya menjadi alat jual guna mendulang suara tetapi tidak berlaku ketika masuk ke dalam pemerintahan. Dodi Ambardi berpendapat bahwa sejak era reformasi partai-partai di Indonesia telah membentuk sistem kepartaian yang mirip kartel. Ia juga menunjukkan bukti-bukti yang menguatkan ciri kartel dalam sistem kepartaian di Indonesia, yakni (1) hilangnya peran ideologi partai sebagai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai; (2) sikap permisif dalam pembentukan koalisi; (3) tiadanya oposisi; (4) hasil-hasil Pemilu hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik; dan (5) kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok. Kelima ini, khususnya yang kelima, berlawanan dengan sifat umum sistem kepartaian yang kompetitif.

Namun kartel dalam politik berbeda dengan kartel dalam ekonomi. Dan Slater menjelaskan, Dalam ilmu ekonomi, kartel berbeda dari pasar bahwa mereka akan menghancurkan pesaing dan mencekik pendatang baru yang potensial di pasar. Dalam politik, kartel berbeda dengan koalisi bahwa mereka mengkooptasi semua partai politik besar ke dalam sebuah aliansi nasional yang luas, dan meminggirkan partai-partai kecil yang berada diluar dalam prosesnya. Walaupun ini merupakan bentuk ideal untuk mencapai stabilitas, namun hal tersebut akan menjadi sebuah masalah dalam representatif.

[caption id="" align="aligncenter" width="320" caption="www.rumahfilsafat.com"][/caption]

Dodi Ambardi menjelaskan bahwa kartel ini dilakukan oleh partai politik demi menjaga keberlangsungan hidup mereka sebagai kepentingannya. Kelangsungan hidup partai-partai politik ini ditentukan oleh kepentingan bersama untuk menjaga berbagai sumber keuangan yang ada, terutama yang berasal dari pemerintah. Sumber keuangan partai yang dimaksud oleh Ambardi ini bukanlah uang pemerintah yang resmi dialokasikan untuk partai politik, melainkan uang pemerintah yang didapatkan oleh partai melalui perburuan rente. Tindakan ini hanya dapat dimungkinkan bila partai politik memiliki akses dalam jabatan pemerintahan dan parlemen. Kartz dan Mair berpendapat bahwa munculnya fenomena kartel politik akibat kebutuhan keuangan finansial partai politik yang semakin bergantung pada negara. Hal ini disebabkan oleh buruknya kemampuan mobilisasi keuangan partai politik melalui iuran anggotanya yang akibatnya adalah menjauhnya partai politik dari masyarakat dan mendekatkan partai pada negara.

Penelitian dari Katz dan Mair tentang partai kartel di Eropa juga dapat menjadi sebuah contoh yang relevan bagi perkembangan perpolitikan di Indonesia.  Mereka dapat menjelaskan dengan baik alasan mengapa partai politik menggunakan cara kartel. Sudah jelas dalam sistem demokrasi bahwa ada sebagian partai yang akan masuk dalam pemerintahan, sedangkan yang lainnya akan terlempar ke luar. Ada partai yang takut akan terlempar dari jabatannya akibat berubahnya suara pemilih. Namun dalam model politik kartel, tidak akan ada partai besar yang terlempar dari kekuasaan. Hal ini mengakibatkan semakin tidak jelas antara partai politik di pemerintahan dan partai politik yang menjadi oposan.

Jabatan Kabinet yang seharusnya menjadi pembantu presiden dalam menjalankan fungsi dalam memeberikan saran, membuat kebijakan dan mengeksekusi perintah dari Presiden, dapat dimanfaatkan oleh partai politik sebagai sumber finansial bagi partai politik. Tawar menawar antara partai politik dan Presiden terjadi untuk menempatkan calon dari partai politik di jabatan Menteri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pertimbangan determinan pencalonan seorang Menteri dari partai politik berdasarkan seberapa "basah" dalam posisi kementerian tersebut. Sektor-sektor Kementerian yang "basah" seperti Kementerian Keuangan, Energi, Industri, Transportasi, dan BUMN  menjadi tempat potensial bagi partai politik untuk menempatkan calonnya. Bahkan Kementerian yang terlihat "kering" seperti Kementerian Agama, dapat dijadikan sumber pendapatan bagi partai politik, tentunya dengan sedikit permainan muslihat. Dalam kasus Kementerian Agama, sumber pendapatan bisa berasal dari mandat penyimpanan dana haji.

Selain keuntungan bagi partai, posisi jabatan Menteri juga dirasakan oleh personal Menteri tersebut. Seorang Menteri juga akan menerima fasilitas yang mewah guna menjalankan fungsinya sebagai pembantu Presiden. Fasilitas-fasilitas sebagai seorang Menteri seperti mendapatkan mobil dinas yang mewah, kantor yang besar, gaji yang tinggi, dan kesempatan untuk mengangkat staf pribadi lebih banyak. Selain hal materi, seorang Menteri yang duduk dalam kabinet akan mendapatkan prestise yang tinggi dan otoritas membuat kebijakan.

Untuk merubah kartel politik yang telah terjadi di negara ini sangatlah sulit. Demokrasi yang berdasarkan atas persaingan yang kompetitif untuk terciptanya pemerintahan yang optimal dengan sistem check and balances, justru terjadi kartel yang dilakukan oleh partai politik untuk melanggengkan kekuasaan mereka di pemerintahan. Untuk merubah semua ini dibutuhkan tindakan kolektif yang melibatkan banyak partai, seperti terciptanya politik kartel yang membutuhkan tindakan kolektif juga.

Diambil dari: http://bonibon2.blogspot.com/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun