Mohon tunggu...
Ma'ruf M Noor
Ma'ruf M Noor Mohon Tunggu... -

ini dunia kita, tak ada yang berhak menghalangi kita untuk bahagia!!!

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mahasiswa bicara soal Nusantara

28 Juli 2011   02:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:19 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah fakta yang tak bisa lagi dipungkiri bahwa negara Indonesia adalah negara maritim yang sekitar 70% dari luas total wilayahnya diisi dengan lautan biru sedangkan lainnya bertaburan ribuan pulau yang menjadi pijakan masyarakat Indonesia kurang lebih 200 juta penduduk. Kondisi alam yang mayoritas laut ini ternyata memberikan dampak yang kurang baik, jika laut hanya dijadikan pemisah ribuan pulau di Indonesia. Laut yang seyogianya menjadi sumber daya alam yang sangat potensial justru selalu dijadikan alasan atas tidak meratanya pembangunan, ekonomi, pendidikan, teknologi, dan segala macam unsur yang menjadi tolak ukur maju dan sejahteranya sebuah bangsa.

Alasan ketidakmerataan inilah yang pernah menjadi inspirasi ribuan mahasiswa turun ke jalan pada tahun 2000-an untuk meminta kepada pemerintah agar setiap 5 tahun sekali, pusat atau ibukota negara Indonesia ditranslasikan ke provinsi-provinsi di Indonesia. Sikap mahasiswa pada saat itu jelas bukan sikap yang emosional melainkan sebuah ekspresi kebenaran atas ketimpangan yang terjadi di negara maritim ini, dimana sampai saat ini kondisi ketimpangan itu masih terasa dan nampak jelas di pelupuk mata masyarakat Indonesia, padahal seluruh rakyat Indonesia berhak memperoleh kesejateraan yang sama dengan masyarakat lain, sesuai dengan amanat Pancasila sebagai landasan gerak bangsa Indonesia, pada sila ke 5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Terpisahnya ribuan pulau di Indonesia oleh lautan mestinya bukan menjadi alasan ketidakmertaan pembangunan, karena setiap daerah atau pulau di Indonesia masing-masing memiliki potensi yang berbeda dan tentu sarat dengan potensi untuk dikembangkan. Setiap daerah adalah siap untuk berkembang sesuai dengan potensi lokal yang dimilikinya, jika pemerintah serius dengan niat mensejahterahkan seluruh rakyat Indonesia.
Kebingungan pemerintah dalam mengatasi distribusi pembangunan yang tidak merata baik sarana dan prasarana maupun infrastruktur pendukung, sangat tampak dengan pemberlakuan otonomi daerah beberapa tahun yang lalu. Otonomi daerah adalah salah satu proyek pemerintah dengan sedikit mengambil alasan pemerataan pembangunan dengan cara megembalikan hampir seluruh kebijakan daerah ke Pemerintah Tingkat Kabupaten atau Pemerintah Kota. Namun langkah ini ternyata belum mampu mengakomodir segala kepentingan masyarakat kalangan bawah terutama masyarakat pesisir. Padahal masyarakat pesisir adalah masyarakat yang juga turut menjadi penggerak roda perekonomian sekaligus sirkulator keuangan bangsa. Alasan klasik yang paling sering diutarakan para stakeholder adalah dimensi jarak yang teralalu jauh dari pusat kota atau bahkan kondisi alam juga tak jarang dipersalahkan untuk berapologi menutupi ketidakmampuan dalam memberikan hak-hak masyarakat pinggiran.

Belum cukup dengan otonomi daerah, pemimpin bangsa kemudian memberikan ruang kepada daerah atau wilayah yang merasa mampu membenahi wilayahnya dengan mendirikan Negara sendiri, berpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Timor Leste menyatakan diri lepas dari Republik Indonesia pada tahun 1999 di era pemerintahan BJ. Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia. Lepasnya Timor Leste dan menyatakan mampu menyejahterakan masyarakatnya dengan sistem pemerintahan yang dibangun sendiri memberikan sugesti kepada wilayah lain untuk selanjutnya juga merdeka dan lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bumi Serambih Mekkah Nanggroe Aceh Darussalam membentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menimbulkan konflik yang cukup panjang di wilayah Aceh, Maluku Selatan juga muncul dengan Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS), dan belum terlalu lama Papua juga menyatakan siap merdeka dari Republik Indonesia di bawah naungan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang juga sampai saat ini masih bergejolak di Bumi Cendrawasih tersebut. Entah wilayah manalagi yang akan menyatakan siap merdeka dari republik ini?. Jika kondisi ini terus berlanjut dan tidak mendapat langkah preventif yang baik dari pemerintah maka tentu akan sangat membahayakan kestabilan nasional karena bukan tidak mungkin akan hancur dan terpecahlah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini.

Kedewasaan berdemokrasi bukanlah ditandai dengan banyaknya wilayah yang berproklamasi. Munculnya beberapa gerakan dan organisasi separatis adalah sebuah simbol kekecewaan atas distribusi pembanguan daerah yang tidak merata dan jauh dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan alasan kesiapan dan matangnya sebuah wilayah untuk membentuk negara sendiri. Seandainya benar bahwa sebuah wilayah di tanah air ini telah matang, sebagai contoh dalam hal ekonomi maka sudah tentu masyarakatnya terlebih dahulu makmur dan sejahtera sebelum menyatakan merdeka. Tapi, keidealan itu jauh dari realita yang terjadi di lapangan, kondisi keamanan negara merdeka justru mencekam dan cenderung sensitif dengan isu kekacauan.
Respon masyarakat dengan membentuk gerakan merdeka, mestinya menjadi refleksi pemerintah dalam menjamin kesejahteraan dan keamanan masyarakat Indonesia seutuhnya tanpa menjadikan laut sebagai pemisah antar pulau, sehingga pembangunan dan kesejahteraan mungkin hanya menjadi milik sebagian orang yang kebetulan bermukim di pusat administrasi, sementara penduduk Indonesia yang berada jauh dari pusat itu tak mampu menikmati dan hanya mampu menjadi penonton dan gigit jari melihat masyarakat di seberang laut sana menikmati fasilitas yang sebenarnya adalah juga menjadi hak mereka.

Kepulauan Indonesia yang diistilahkan dengan kata ‘Nusantara’ adalah sebenarnya aset yang sangat berharga jika manajemen dalam republik ini berjalan baik, bukan justru menjadi ancaman akan stabilitas nasional bangsa ini. Lautan Indonesia yang menyimpan berjuta keragaman hayati, biota laut yang tak tertandingi di seluruh dunia, kecantikan panorama karang di bawah permukaan laut dan masih banyaknya eksotika laut yang menawan, mestinya dijadikan alat untuk menjadikan Indonesia sebagai ikon Negara Maritim yang senantiasa menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia.

Keberadaan dan keberdayaan laut adalah hal mutlak bagi pemerintah karena bagaimana pun juga laut merupakan sumber daya alam yang tak terpisahkan dari kekayaan alam Indonesia yang mesti dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan orang banyak dalam rangka memajukan perekonomian dan karakter bangsa, meskipun kenyataan yang banyak terjadi keberadaan dan keberdayan laut justru selalu dijadikan lahan subur untuk para penguasa saling berkompromi dalam urusan memperkaya diri sendiri. Pembangunan pelabuhan, pendirian tambang minyak di tengah laut, dan masih banyak contoh kasus yang selalu menjadi tameng untuk melakukan praktek-praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) melalui lobi dan negosiasi yang panjang dan penuh dengan siasat untuk meraup keuntungan dari keberadaan dan keberdayaan laut.

Pemerintah yang saat ini sekaligus menjadi penguasa di negara ini mestinya lebih pekah dan responsif terhadap kondisi masyarakat yang jauh dari jangkauan media dan publikasi. Sistem distribusi yang baik akan menjadi cara yang tepat untuk mengatasi banyaknya pemotongan anggaran. Distribusi yang langsung dari pusat dengan membentuk tim khusus menangani permasalahan tidak meratanya pembangunan adalah cara yang efektif dan tentunya tak lepas dari hasil analisa yang mendalam tentang program maupun proyek yang akan diadakan.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun