Mohon tunggu...
Masbom
Masbom Mohon Tunggu... Buruh - Suka cerita horor

Menulis tidaklah mudah tetapi bisa dimulai dengan bahasa yang sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Mentari Naik Sepenggalah

15 September 2019   21:26 Diperbarui: 15 September 2019   21:31 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dokumen pribadi

"Tidak, Mas. Tuhan tidak mungkin berbohong. Hanya kita saja yang tidak mau bersyukur atas semua anugerah dan nikmat-Nya. Tuhan pasti akan memberikan jalan dari arah yang tidak pernah kita duga," kata isteriku sambil meletakkan pisang goreng dan teh hangat di meja. Aku mendengarkan penjelasan dari isteriku. Tapi rasa tak percaya ini masih menyelimuti hatiku.

"Ayuk, Mas, dimakan pisang gorengnya. Atau diseruput dulu teh hangat ini. Tidak baik lho menolak rejeki, apalagi buatan isteri sendiri." Kembali mata indah dan senyum manis anugerah Tuhan itu terlukis di wajahnya. Aku pun sedikit terhibur karenanya. Dia kemudian duduk di tepi peraduan.

Aku mengambil teh hangat buatan isteriku dan ikut duduk di sampingnya. Terasa segar membasahi kerongkonganku ketika aku seruput sedikit. Hmm ... sejak awal menikah hingga dianugerahi dua anak, rasa teh buatan isteriku tetap tidak pernah berubah. Manisnya pas dengan sedikit rasa sepet seperti orang Jawa bilang. Susah untuk diungkapkan rasanya, tapi aku pastikan rasa teh buatan isteriku itu tidak akan pernah berubah. Sejenak kutatap wajahnya dan aku belai lembut rambut hitamnya. Dia tetap tersenyum dalam diam. Aku beranjak dan meletakkan kembali gelasku di meja. Hatiku masih gundah memikirkan nasib cerita yang akan aku tulis. Sekali lagi writer block. Apa yang harus aku lakukan? Sebentar kemudian aku berdiri dan melangkah keluar diiringi tatapan heran isteriku.

"Mas ..." Dia menyapaku. Aku hanya menoleh sebentar dan tersenyum sambil terus melangkahkan kakiku ke luar dari kamar. Dia pun tersenyum ketika melihatku menuju tempat wudhu. Aku basuh tangan, muka, dan kakiku. Sebentar kemudian isteriku sudah berdiri di belakangku.

"Aku ikut, Mas." Aku pun mengangguk.

Biarlah saat mentari naik sepenggalah ini belum bisa kutulis sebuah cerita. Asalkan masih Engkau beri hidayah padaku untuk bersujud pada-Mu ....

Solo.15.09.2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun