Mohon tunggu...
Masbom
Masbom Mohon Tunggu... Buruh - Suka cerita horor

Menulis tidaklah mudah tetapi bisa dimulai dengan bahasa yang sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Mentari Naik Sepenggalah

15 September 2019   21:26 Diperbarui: 15 September 2019   21:31 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dokumen pribadi

"Alhamdulillah, di hari libur kali ini kita bisa bertemu di masjid seperti hari biasanya, Mas," kata marbot tersenyum sambil menjabat tanganku.

"Eh ... iya, Pak. Saya hanya berusaha untuk istiqomah dalam beribadah. Seperti nasihat Pak Ustadz waktu pengajian tempo hari," jawabku tersipu malu. Ketahuan nih jika hari libur aku sering melewatkan jamaah subuh di masjid. Rupanya beliau memperhatikan aku selama ini.

"Selagi masih muda, sempatkankah berjamaah di masjid, meski itu harus dijalani dengan merangkak, begitu nasihat pak ustadz ..." kata Pak Marbot sambil mempersilakan aku untuk masuk masjid duluan. Sementara beliau akan mengambil air wudhu.

Ada perasaan lega setelah sholat subuh berjamaah di masjid selesai aku tunaikan di hari libur kerjaku. Tentram dan bahagia pagi itu aku bisa beribadah tanpa ada embel-embel kewajiban karena masuk kerja pagi. Suasana ini menginspirasiku untuk menulis sebuah cerita. Dalam perjalanan pulang dari masjid sudah aku pikirkan apa-apa saja yang hendak aku tulis nantinya. Mungkin benar bahwa ini berkah dari Tuhan pada umatnya yang telah bersungguh-sungguh dalam beribadah.

Sampai di rumah dan belum melepas sarung aku mengambil gawaiku bersiap menumpahkan segala ide dari kepalaku. Tetapi kembali aku teringat nasihat Pak Ustad untuk mengawali hari dengan membaca Al-Qur'an sebelum beraktifitas pagi termasuk bermain dengan gawaiku. Sedikit bimbang karena ide-ideku sudah siap untuk kutulis menjadi sebuah cerita. Aku khawatir ideku ini akan segera menguap jika tidak segera aku tuliskan.

Meski begitu dengan berat hati aku meletakkan gawaiku dan memantabkan hati untuk membaca kitab suci Al-Qur'an terlebih dulu. Kembali aku mencoba istiqomah untuk kegiatan pagiku itu. Satu ayat dua ayat aku terhanyut dalam keagungan kalam Ilahi hingga selesai satu surat panjang aku baca pada kesempatan itu.

Setelah selesai aku mengambil gawaiku kembali. Tapi apa, sepertinya aku kehilangan sebagian besar ide ceritaku. Aku tidak bisa menuliskan kalimat pertamaku. Aku berusaha keras untuk mengingat-ingat kembali. Aku menarik napas panjang berkali-kali untuk me-refresh pikiranku. Tapi ide-ide itu belum juga kembali. Aku berdiri dan berjalan berkeliling kamar mencoba untuk memunguti dan mengumpulkan ide-ide yang berserakan. Tapi belum juga bisa menjadi sebuah alinea pertama. Berkali-kali aku tulis, berkali-kali aku delete lagi. Aku pergi ke jendela kamar. Kuhirup udara segar pagi hari dan kutatap indah cahaya mentari pagi. Semua itu tetap tidak bisa menjadi pembuka tulisanku. Aku terlihat mondar-mandir di kamar. Kadang bersandar di dinding, berbaring di peraduanku, duduk di kursi, dan kembali ke jendela kamarku. Bahkan sesekali aku keluar kamar sekedar meneguk air putih dingin. Semua itu aku lakukan untuk memancing ideku agar segera kembali.

Rupanya tingkah lakuku itu tidak luput dari perhatian isteriku yang sedang asyik mengupas satu lirang pisang kepok. Kami sempat beradu pandang. Dan senyum itu begitu manis tersungging di bibir tipisnya. Tapi sialnya, anugerah Tuhan yang ada pada isteriku itu belum bisa memberikan ide untuk tulisanku. Aku seperti di kejar deadline untuk ceritaku ini karena janji Tuhan yang akan memberikan kemudahan dan keberkahan di pagi itu.

Aku hempaskan tubuhku di kursi dan kupandangi lagi gawaiku. Pikiranku benar-benar buntu untuk menulis. Aku mengalami apa yang disebut writer block. Sempat terpikir kembali jika tadi langsung aku tulis ide-ideku mungkin saat mentari naik sepenggalah ini telah terangkai cerita menarik untuk para pembaca di K. Aku menyalahkan diriku sendiri. Tapi segera aku tepis prasangka itu. Aku membuang muka ke arah pintu. Bersamaan dengan itu hadirlah isteriku berdiri di sana sambil membawa sepiring pisang goreng dan teh hangat untukku.

"Berhenti dulu nulisnya. Tidak usah dipaksa jika belum ada idenya. Dari tadi mondar-mandir terus apa tidak capek?" tanya isteriku sambil tersenyum.

"Apa Tuhan telah berbohong padaku? Sedangkan aku telah melaksanakan kewajiban untuk-Nya pagi tadi?" tanyaku sambil kutatap lesu wajah isteriku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun